Sabtu, 31 Desember 2011
Kamis, 29 Desember 2011
CATATAN DARI SUMBAWA
Daerah Kabupaten Sumbawa secara geografis memiliki wilayah yang sangat unik, di satu sisi wilayah ini merupakan wilayah yang berada di dataran rendah (pesisir), di sisi lain juga berada di wilayah perbukitan (dataran tinggi). Dari karakter geografis semacam ini, masyarakat sumbawa cenderung bermatapencaharian sebagai nelayan dan petani. Tanah di Kabupaten Sumbawa memang seolah bukanlah merupakan tanah yang subur, karena ketinggian pegunungan di wilayah ini sangat mempengaruhi curah hujan yang ada. Dalam satu tahun biasanya musim hujan hanya berlangsung selama lima bulan, yaitu dari bulan Nopember sampai dengan Maret. Setelah dibangunnya beberapa waduk dan dam-dam, maka yang dulunya Kabupaten ini merupakan sawah tadah hujan sekarang mampu menjadi salah satu lumbung beras nasional. Selain penghasil padi, pada dataran tingginya daerah ini juga banyak menghasilkan kayu sepang, jati, rotan, madu, dan menjangan. Disamping itu sejak dulu kala kabupaten ini diketahui memiliki kekayaan mineral dan bahan tambang. Terbukti sampai sekarang banyak pertambangan yang beroperasi di wilayah ini.
Kabupaten Sumbawa yang memiliki sebutan asli Tana Samawa, memiliki wilayah yang sangat luas dibanding dengan wilayah kabupaten lain di Nusa Tenggara Barat. Posisi Tana Samawa ini terletak pada 116°,42’ - 118°,22’ Bujur Timur dan 08°, 08’ - 09°, 07’ Lintang Selatan. Kabupaten ini terbagi atas 19 Kecamatan, yang terdiri dari 154 Desa dan 8 Kelurahan. Selain itu wilayah kabupaten ini berbatasan dengan sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah Timur dengan Kabupaten Dompu, sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia, sebelah Barat dengan Selat Alas.
Secara khusus masyarakat di Kabupaten ini tidak didominasi oleh satu suku, melainkan terdiri dari berbagai macam suku. Dalam perjalanan sejarah sangatlah sulit melacak penduduk aslinya, sebab penduduk di Sumbawa ini berasal dari berbagai daerah. Tana Samawa yang pada saat itu konon sangat terbuka dan memiliki berbagai kekayaan, mendorong adanya perpindahan penduduk dari berbagai daerah. Perkiraan adanya perpindahan penduduk ini berlangsung jauh sebelum zaman kerajaan Sriwijaya, dilakukan oleh para pedagang, nelayan, petani, kiyai, dan sebagainya yang berasal dari berbagai daerah, yaitu: semenanjung Melayu, Aceh, Minang, Banten, Banjar, Jawa, dan Sulawesi. Hal ini terbukti dengan banyaknya jumlah pelabuhan yang sampai saat ini ada di sepanjang pesisir Sumbawa. Sampai pada suatu saat ditemukan berbagai kerajaan yang pernah ada di Kabupaten ini, diantaranya:
1. Kerajaan Dewa Mas Kuning di daerah Selesek, sekitar Leben
2. Kerajaan Datu Naga di Petonang, Ropang
3. Kerajaan Ai Renung, di Batu Tereng, Moyohulu
4. Kerajaan Dewa Awan Kuning di Sampar Samulan, Batu Tereng Moyohulu
5. Kerajaan Perumpak di dekat Pernek, Moyohulu
6. Kerajaan Gunung Setia di sekitar Kebayan, Sumbawa Besar
7. Kerajaan Gunung Galesa di Olat Poq, Moyohilir
8. Kerajaan Tangko di dekat Ongko, Empang
9. Kerajaan Kolong di Brang Kolong
10. Kerajaan Ngali dekat Labuhan Kures, Lape
11. Kerajaan Dongan di Pungket, lape
12. Kerajaan Hutan di Utan
13. Kerajaan Seren, Seteluk
14. Kerajaan Taliwang di Taliwang
15. Kerajaan Jereweh di Jereweh
Kondisi semacam ini membuat masyarakat tana samawa memiliki keragaman adat, budaya, ataupun bahasa yang relatif unik dan berbeda antara satu enik dengan enik yang lainnya. Pada tataran implementasinya masing-masing masyarakat wilayah tertentu menggunakan adat, budaya atau bahasa sehari-hari yang berlaku untuk kepentingan berinteraksi dengan komunitasnya. Sementara bila mereka berinteraksi dengan etik lain, kecenderungan bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia, karena semua orang Samawa sangat menguasai bahasa Ini. Namun demikian walaupun mereka memiliki ragam adat, budaya, dan bahasa yang berbeda, tetap memiliki wawasan budaya yang sangat tinggi sehingga dalam pergaulannya, masing-masing mengutamakan sikap menghargai antara satu dan lainnya.
Mayoritas masyarakat Sumbawa menganut agama Islam. Dalam hubungannya dengan agama lainnya menunjukan sikap yang sangat toleransi. Selain menganut ajaran agama Islam masyarakat Samawa sangat menghargai nilai-nilai luhur budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Berbagai upacara/ritual dan nilai-nilai budaya yang sejak dulu ditaati atau dipatuhi oleh leluhurnya sampai saat ini masih juga tampak dihormati dan ditaati. Sampai-sampai dalam upaya membangun daerahnya, pemerintah mencoba mengakumulasikan sebuah konsep nilai budaya yang dimiliki sebagai karakter masyarakatnya, yaitu semboyan: ‘Sambalong Samalewa’ . Semboyan ini memiliki makna bahwa dalam mengarungi kehidupan ini masyarakat Samawa harus berorientasi pada konsep keseimbangan hidup, yaitu hidup di dunia dan akhirat.
Jumat, 09 Desember 2011
FESTIVAL KARYA TARI GURU JAWA TIMUR
Menyongsong hari Guru Nasional tahun 2011, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur menelurkan program baru untuk para guru, yakni sebuah festival yang disediakan sebagai ruang ekspresi seni bagi para guru. Pelaksanaan kegiatan yang pertama kali diselenggarakan ini di tempatkan di Kabupaten Pamekasan, yang tepatnya pada tanggal 24 Desember 2011. Cabang seni yang di festivalkan untuk kali pertama dalam kegiatan ini diantaranya adalah: festival karya tari, festival musik tradisional, musikalisasi puisi, dan seni rupa.
Pekan Seni Guru adalah sebuah kegiatan yang dapat
dimanfaatkan sebagai ruang belajar dan sekaligus sebagai ruang untuk
berekspresi para guru dalam rangka peningkatan kualitas para guru terhadap wawasan seni budaya. Harapan dari kegiatan ini tentunya akan berdampak pada
peningkatan kualitas pembelajaran seni budaya di sekolah baik dari isi/materi dan sekaligus
strategi pembelajarannya yang mengarah pada pendidikan karakter siswa.
Dari hal tersebut di atas tentunya untuk bidang festival karya tari khususnya karya-karya yang di usung dari masing-masing kontingen yang berasal dari sejumlah kabupaten dan kota se propinsi Jawa Timur ini mampu mengeksplor nilai-nilai etnisitas yang
dimiiki oleh daerah setempat; dengan demikian guru sebagai ujung tombak
pendidikan karakter mampu melihat sekaligus mehamami/menguasai nilai-nilai
etnik yang tumbuh dan berkembang dari tradisi setempat.
Dalam relatita kekaryaan yang sempat ditampilkan oleh para guru, dari sisi tema yang diusung masih banyak yang
belum memahami konsep tersebut di atas, sehingga walau sudah ada sebagian yang mengusung nilai-nilai tradisi setempat, namun banyak juga
yang masih belum mengarah ke sana. Hal ini dimungkinkan karena, 1) merupakan kegiatan perdana, 2) belum tersosialisasikan maksud dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan yang dimaksud.
Selain dari sisi tema, dari sisi kepekaan material bentuk masih banyak penata tari (guru) yang
belum akrab dengan kualitas etnik masing-masing daerahnya, sehingga selain kurang menunjukan kekayaan etnisitas juga tampak banyak yang
relatif memiliki kemiripan bentuk antara satu daerah kabupaten kota satu dengan yang lainnya.
Untuk mencapai tujuan yang sangat baik dari kegiatan ini tentunya perlu diadakan sosialisasi maksud dan tujuan, sekaligus diadakan kegiatan pelatihan yang berorientasi pada kesadaran penggalian nilai-nilai tradisi sebagai dasar pengembangan gagasan untuk dituangkan dalam sebuah karya tari.
Jumat, 02 September 2011
THR Untuk Anggota WO THR
Ketika saya ingin memahami seluk beluk Wayang Orang - sebut WO - di THR (Taman Hiburan Rakyat) Surabaya, saya mencoba untuk selalu ikut dalam pertunjukannya. Kesertaan ini saya lakukan dengan cara terlibat sebagai pemain WO. Dengan demikian akan bisa merekam berbagai permasalah yang muncul dalam pertunbuhan WO THR ini.
Ada sebagian kecil masalah yang sempat saya dengarkan pada waktu menjelang datangnya Hari Raya Idul Fitri 1432 Hijriah. Ketika itu merupakan pementasan terakhir WO yang digelar pada masa bulan puasa tahun 2011. Kebiasaan pada pemain ketika menjelang pertunjukan dimulai sekitar pukul 19.00, semua pemain termasuk sutradara berkumpul untuk mengadakan penuangan (istilah mereka) yang maknanya dalam kegiatan tersebut adalah memberikan penjelasan materi atau alur oleh sutradara kepada seluruh para pemain termasuk dalang dan pengendang. Harapanya seluruh isi adegan beserta kekuatan dramatik cerita yang akan dibawakan dapat di interpretasikan oleh seluruh pemain dan sekaligus membangun kesepakatan artistik baik dari sutradara dengan pemain, maupun antara pemain dan pemain.
Dalam acara penuangan yang biasanya khusus hanya menyampaikan persoalan artistik, saat itu ada masalah yang saya anggap menarik untuk didengar yakni masalah yang berkait dengan hal-hal nasib atau keberlangsung kehidupan WO atau termasuk juga para pemainnya. Arah pembicaraan tersebut berkisar pada perolehan THR (Tunjangan Hari Raya) para pemain dan sistem manajemen keuangan. Bila didengarkan, maka seolah nasib para pemain dan sekalis WO sangat tergantung dari suport dana yang selama ini diberikan oleh pihak UPTD Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Apabila suport ini dihentikan, maka tidak mustahil bahwa WO di THR Surabaya bernasib sangat buruk sekali.
Dari masalah ini tampaknya WO THR Surabaya harus mendapatkan sumbangsih pemikiran yang cemerlang guna mengatasi berbagi terpaan masalah yang dapat menghancurkan masa depan WO.
Ada sebagian kecil masalah yang sempat saya dengarkan pada waktu menjelang datangnya Hari Raya Idul Fitri 1432 Hijriah. Ketika itu merupakan pementasan terakhir WO yang digelar pada masa bulan puasa tahun 2011. Kebiasaan pada pemain ketika menjelang pertunjukan dimulai sekitar pukul 19.00, semua pemain termasuk sutradara berkumpul untuk mengadakan penuangan (istilah mereka) yang maknanya dalam kegiatan tersebut adalah memberikan penjelasan materi atau alur oleh sutradara kepada seluruh para pemain termasuk dalang dan pengendang. Harapanya seluruh isi adegan beserta kekuatan dramatik cerita yang akan dibawakan dapat di interpretasikan oleh seluruh pemain dan sekaligus membangun kesepakatan artistik baik dari sutradara dengan pemain, maupun antara pemain dan pemain.
Dalam acara penuangan yang biasanya khusus hanya menyampaikan persoalan artistik, saat itu ada masalah yang saya anggap menarik untuk didengar yakni masalah yang berkait dengan hal-hal nasib atau keberlangsung kehidupan WO atau termasuk juga para pemainnya. Arah pembicaraan tersebut berkisar pada perolehan THR (Tunjangan Hari Raya) para pemain dan sistem manajemen keuangan. Bila didengarkan, maka seolah nasib para pemain dan sekalis WO sangat tergantung dari suport dana yang selama ini diberikan oleh pihak UPTD Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Apabila suport ini dihentikan, maka tidak mustahil bahwa WO di THR Surabaya bernasib sangat buruk sekali.
Dari masalah ini tampaknya WO THR Surabaya harus mendapatkan sumbangsih pemikiran yang cemerlang guna mengatasi berbagi terpaan masalah yang dapat menghancurkan masa depan WO.
Senin, 22 Agustus 2011
Sertifikasi guru
Dua gelombang kegiatan sertifikasi guru bidang studi seni budaya berakhir pada hari selasa 23 Agustus 2011. Pada dasarnya bila ditanyakan kepada para peserta, sebagian besar menyatakan sangat senang mengikuti sertifikasi dalam bentuk PLPG. Setidaknya ada beberapa alasan yang menjadi penyebab semangatnya mengikuti kegiatan PLPG. Pertama banyak materi baru yang diperoleh dalam PLPG, kedua menemukan wawasan baru dalam pengembangan pembelajaran di kelas, ketiga motivasi dari tutor yang sangat positif dalam mengembangkan karakter guru, serta bertemunya guru bidang studi seni budaya dari berbagai daerah dan sekolah. Hal yang terekam dari kegiatan ini, yakni para guru yang pada awalnya menggunakan model terpusat pada guru dalam kegiatan peer teaching ingin mencoba merubah ke terpusat pada peserta didik, walaupun kadang kelihatan agak sulit menerapkan model ini. selain itu ada guru yang sebelum ikut sertifikasi lebih banyak berkecipung dalam kegiatan kesenian sehingga agak lupa dengan kompetensi gurunya. yang paling menantang bagi para peserta adalah waktu penyelenggaraannya bertepatan dengan bulan puasa.
Kamis, 04 Agustus 2011
Wayang Wong THR Surabaya Dalam Transisi Dari Profesional ke Amatir
Citra Taman Hiburan Rakyat (THR) di Surabaya sat ini bila di bandingkan dengan masa tahun 70-an jauh mengalami kemunduran. Masalah ini tentunya tidak bisa terlepas dari perkembangan tata nilai masyarakat pendukung dan juga pola pembangunan yang didesain oleh pemerintahnya. THR yang dulunya banyak dikunjungi masyarakat, sekarang sudah tidak lagi menjadi idaman orang untuk berekreasi atau mencari hiburan. Berdirinya bangunan Mall di depan THR menurut beberapa orang menjadi penyebab dari situasi saat ini.
Komitmen pemerintah kota surabaya dalam rangka mempertahankan eksistensi THR, tampaknya masih terasa memiliki kepedulian; walau bila dilihat kenyataannya tidak menunjukan adanya kemajuan yang signifikan. Terkesan Pemerintah Kota Surabaya sudah angkat tangan untuk berusha mencari gagasan-gagasan atau terobosan baru dalam memberikan solusi terbaik yang sifatnya komperhensip.
Bentuk kepedulian Pemerintah kepada kelompok-kelompok kesenian yang duu sangat populer di THR adalah dengan memberikan suport dana pementasan sekali pentas dalam satu minggu. Itupun untuk semua kelompok yang masih tetap eksis (walau tidak mau dikata mati) yang dilakukan secara bergantian, misalnya jumat minggu pertama ketoprak, kedua wayang orang, ketiga ludrug dan seterusnya.
Dari kondisi yang semacam ini, seniman-seniman yang dulunya aktif mendukung eksistensi kesenian di THR, sekarang banyak yang meninggalkannya. Mereka lebih merasa nyaman hidup di luar lingkugan THR. Dengan demikian seniman-seniman THR sekarang banyak yang meninggalkannya dan dampaknya kesenian-kesenian trsebut kehilangan aktornya. mantan senian yang meninggalkan THR banyak sekali yang alih profesi, dari seiman ada yang menjadi guru, berdagang dan sebagainya.
Berkurangnya seniman yang mendukung kesenian tersebut menyebabkan bingungnya pengelola seni yang masih tetap memiliki konsistesi dalam menjaga kelestarian kesenian tradisional kita. Beruntung pada saat ini masih ada kelompok masyarakat (justru dari kalangan pendidikan apakah dosen atau mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di surabaya) yang peduli terhadap masalah ini, sehingga kekurangan-kekurangan yang dialami setidaknya dapat sebagai penyelamat kelangsugan hidup kesenian di THR ini.
Pertunjukan Wayang orang yang digelar pada hari jumat, tanggal 29 Juli 2011menunjukan fenomena terjadinya transisi dari gerenasi profesional ke generasi amatir. Pertunjukan pada malam hari itu, menunjukan para pemainnya hampir keseluruhan bukanlah pendukung yang dulu pernah menjadi seniman THR, kalau toh ada dapukan atau castingnya tidak pada posisi tokoh atau peran penting. Akirnya bila dilihat dari sisi kualitas maka munculah perbedaan yang signifikan. Dari sisi joged atau gerak tari relatif lebih memiliki bentuk yang terkontrol, namun dari sisi vokal dan antawacana atau dialog para penyajinya masih perlu belajar lebih jauh lagi.
Fenomena ini tentunya tidak bisa haya dengan pikran negatif, yang paling penting bagaiana ke depan masalah ini bisa ditangani dengan sebik-baiknya.
Komitmen pemerintah kota surabaya dalam rangka mempertahankan eksistensi THR, tampaknya masih terasa memiliki kepedulian; walau bila dilihat kenyataannya tidak menunjukan adanya kemajuan yang signifikan. Terkesan Pemerintah Kota Surabaya sudah angkat tangan untuk berusha mencari gagasan-gagasan atau terobosan baru dalam memberikan solusi terbaik yang sifatnya komperhensip.
Bentuk kepedulian Pemerintah kepada kelompok-kelompok kesenian yang duu sangat populer di THR adalah dengan memberikan suport dana pementasan sekali pentas dalam satu minggu. Itupun untuk semua kelompok yang masih tetap eksis (walau tidak mau dikata mati) yang dilakukan secara bergantian, misalnya jumat minggu pertama ketoprak, kedua wayang orang, ketiga ludrug dan seterusnya.
Dari kondisi yang semacam ini, seniman-seniman yang dulunya aktif mendukung eksistensi kesenian di THR, sekarang banyak yang meninggalkannya. Mereka lebih merasa nyaman hidup di luar lingkugan THR. Dengan demikian seniman-seniman THR sekarang banyak yang meninggalkannya dan dampaknya kesenian-kesenian trsebut kehilangan aktornya. mantan senian yang meninggalkan THR banyak sekali yang alih profesi, dari seiman ada yang menjadi guru, berdagang dan sebagainya.
Berkurangnya seniman yang mendukung kesenian tersebut menyebabkan bingungnya pengelola seni yang masih tetap memiliki konsistesi dalam menjaga kelestarian kesenian tradisional kita. Beruntung pada saat ini masih ada kelompok masyarakat (justru dari kalangan pendidikan apakah dosen atau mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di surabaya) yang peduli terhadap masalah ini, sehingga kekurangan-kekurangan yang dialami setidaknya dapat sebagai penyelamat kelangsugan hidup kesenian di THR ini.
Pertunjukan Wayang orang yang digelar pada hari jumat, tanggal 29 Juli 2011menunjukan fenomena terjadinya transisi dari gerenasi profesional ke generasi amatir. Pertunjukan pada malam hari itu, menunjukan para pemainnya hampir keseluruhan bukanlah pendukung yang dulu pernah menjadi seniman THR, kalau toh ada dapukan atau castingnya tidak pada posisi tokoh atau peran penting. Akirnya bila dilihat dari sisi kualitas maka munculah perbedaan yang signifikan. Dari sisi joged atau gerak tari relatif lebih memiliki bentuk yang terkontrol, namun dari sisi vokal dan antawacana atau dialog para penyajinya masih perlu belajar lebih jauh lagi.
Fenomena ini tentunya tidak bisa haya dengan pikran negatif, yang paling penting bagaiana ke depan masalah ini bisa ditangani dengan sebik-baiknya.
Rabu, 13 Juli 2011
MTQ Mahasiswa Nasional
Pada tanggal 9 s/d 16 Juli 2011 diselenggarakan MTQ Mahasiswa tingkat Nasional. Penyelenggaraan kegiatan ini dipecayakan kepada Universitas Muslim Indonesia Makasar. Renacana acara MTQ ini akan dibuka oleh Menteri Pendidikan Nasional, namun karena beliau berhalangan hadir maka diwakilkan kepada Direktur DIKTI pada tanggal 9 Juli 2011 tepatnya pukul 09.00 Wita. Unesa mengirim tidak kurang dari 16 peserta yang terdiri dari beberapa fakultas.
Kamis, 07 Juli 2011
koreografer dalam persoalan global
KOREOGRAFER
DALAM PERSOALAN GLOBAL
Oleh: Peni Puspito
A. Pendahuluan
Perkembangan budaya manusia saat ini semakin menunjukan gejala yang sangat komplek. Hal ini terjadi setelah manusia mampu menciptakan system transportasi dan komunikasi yang semakin canggih. Sekat-sekat budaya dari demensi ruang dan waktu bukan lagi menjadi kendala untuk kemungkinan terjadinya interaksi budaya. Akibatnya system budaya yang dikembangkan pada generasi pewaris tidak lagi mampu dipertahankan keberadaannya dan pada akhirnya akan merubah paradigma nilai-nilai tradisi yang telah lama dibangun generasi pendahulunya. Isu inilah yang kemudian menarik untuk dijadikan lahan kajian para pakar yang sampai saat ini disebut-sebut dengan multikulturalisme.
Dalam konteks ini, persoalan-persoalan pluralitas, diversitas, dan atau keberagaman menjadi penting kedudukannya; di sisi lain yang tidak kalah pentingnya dalam membahas kajian tersebut adalah menyangkut kesatuan, ketunggalan, dan keseragaman. Dikotomi ini biasanya kemudian muncul secara bersamaan sebagai landasan berpikir untuk mengupas topic yang berkaitan dengan multikulturalime tersebut. Sebagai akibat gejala pertumbuhan budaya, persoalan ini juga membias pada pro dan kontra terhadap pelestarian tradisi dan modernitas seperti yang dikatakan oleh Chua Soo Pong (1998: 54), bahwa: “Tantangan kultur masa depan dalam konteks ini dikaitkan dengan krisis radikal modernitas; dilemma antara melestarikan tradisi atau memburu lahan kultur baru”.
Untuk membingkai pembicaraan ini, saya tidak ingin mengupas persoalan di atas, namun mencoba melihat sebuah realita yang pernah saya ketahui selama ini terutama berkaitan dengan aspek koreografer dalam perjalanannya mengarungi kehidupan keseniannya dalam dunia yang global.
B. Koreografer Kita Dari Ekspresi Komunal ke Individual
Istilah koreografer di kalangan dunia tari kita sebetulnya relative belum lama munculnya. Kesenian terutama tari secara spesifik berdiri sendiri sebagai cabang kesenian juga relative belum lama. Hal ini tentunya ada kaitannya dengan perkembangan atau sejarah budayaan masyarakat kita. Ketika masyarakat kita masih erat dengan system kehidupan agraris semua kegiatan budaya (seni pertunjukan – termasuk tari) pada umunya tidak dapat terlepas dari konteks kehidupan berbudayanya. Karena kesenian pada saat itu di klaim sebagai milik komunal, maka apapun alasannya tidak pernah seseorang berani menyatakan bahwa kesenian tersebut miliknya secara individual. Hal ini bukan berarti tidak ada seorangpun dalam komunitas kesenian yang melakukan aktivitas kreativ, namun semua kreativitas yang dibangun/diciptakan disumbangkan, dilebur ke dalam sebuah proses berkesenian yang pada akhirnya menjadi produk ekspresi komunitas atau kelompok; sehingga tidak jarang ditemukan karya-karya seni tradisional kita seolah tak bertuan atau tidak muncul nama-nama kreatornya.
Di keraton atau istana sebagai sentra kebudayaan pada zamannya seorang raja telah mulai berani menyebut nama sebagai penggubah karya seni pertunjukan, walau sesungguhnya karya tersebut dikreasi oleh para abdi dalemnya. Hal ini seorang raja sebagai penguasa sekaligus maesenas tentunya memiliki tujuan-tujuan politis.
Setelah zaman kemerdekaan perkembangan budaya mulai dapat dirasa, keberanian atau kesadaran seseorang untuk mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat mulai tampak, walau belum begitu dapat dirasa untuk pertumbuhan seni pertunjukan terutama seni tari.
Peng-klaiman sebuah karya tari oleh seorang penata atau koreografernya, mulai dapat dirasa ketika Bagong Kusudiardjo dan Wisnu Wardhana pulang dari belajar tari di Amerika sekitar tahun 70-an. Keduanya sudah mulai memberanikan diri penyatakan sebagai pencipta tari atau koreografer dari karya-karya yang telah diciptakan. Demikian juga peran sekolah-sekolah tari yang munculnya pada sekitar tahun yang tidak terlalu jauh. Lahirnya lulusan sekolah-sekolah ini juga telah tidak canggung lagi untuk menyebut karya-karya tari yang telah diproduksinya.
Ketika industrialisasi mulai masuk sebagai pola kehidupan di negara kita, mau tidak mau sangat mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kesenian kita. Hak cipta atau hak paten sebagai bagian dari konsep industrialisasi tidak lagi hanya dikembangkan dalam dunia fisika dan teknologi saja, ia mulai menjalar dalam kehidupan kesenian kita. Dalam kaitannya dengan pengakuan ekspresi individual dianggap sebagai proteksi yang dapat memperkuat hak kepemilikian kreasinya.
Dari gambaran tersebut di atas, setidaknya kita ketahui bahwa seni (tari) sebagai ekspresi individual relative belum lama membudaya di lingkungan kita. Hal ini sangat erat hubunganannya dengan pola kehidupan masyarakatnya.
C. Koreografer Jawa Timur Dalam Perpaduan Budaya ?
Propinsi Jawa Timur menunjukan wilayah yang sangat khas dan unik, ini disebabkan adanya berbagai wilayah budaya yang dimiliknya. Selain memiliki wilayah budaya yang beragam, Jawa Timur juga hidup dalam pergaulan budaya yang beragam pula baik ditinjau dari tataran nasional atau internasional. Dari kondisi semacam ini mungkinkah koreografer kita masih hidup dalam lingkungan yang tertutup dan tetap mempertahan etnisitasnya? Jelas bahwa koreografer di Jawa Timur mau atau tidak, akan masuk dalam konstelasi budaya yang selalu berinteraksi dengan etnik-etnik lainnya.
Menurut Dieter Mack (1998:28-29) ketika terjadi perpaduan dua budaya, maka lahir istilah peranak dan silang budaya. Silang budaya terutama yang mengacu pada latar belakang seniman dan karya seni yang memiliki dua akar budaya atau lebih; sedangkan peranakan sebuah istilah biologi merujuk pada upaya pencangkokan dan perbaikan antara dua tanaman. Maka pengertiannya pada ranah seni lebih merujuk pada proses saling pengaruh unsure tertentu dengan sifat yang jelas tetapi berbeda, berpadu atau bahkan saling menekan. Sedangkan sifatnya selalu hadir kuat pada masing-masing tubrukan-sekalipun di dalam paduan atau penampakannya terlihat tidak seimbang.
Kenyataanya, diakui atau tidak hal ini sering saya jumpai pada hasil karya koreografer di Jawa Timur. Misalnya pada bulan Agustus yang baru lalu, saya diundang untuk berbicara dalam kegiatan Pelatihan Bagi Koreografer di Kabupaten Sumenep. Sebelum saya menyajikan makalah, diawali oleh penyaji local dari Sumenep. Pada saat itu disajikan sebuah contoh karya tari yang telah berhasil disusunnya dalam tayangan video. Setelah saya melihat tayangan karya tersebut, ada fenomena yang cukup menarik, yakni susunan gerak dalam koreografi tersebut sudah sering saya lihat terutama pada koregrafi yang disusun oleh seniman-seniman di Surabaya.
Di Malang ada seorang winarto yang kehidupan berkeseniannya dilatari oleh kesenian tradisi (Malangan) dan digembleng pada sebuah Sekolah Tinggi di Surakarta yang nota bene juga sangat kental dengan bentuk-bentuk tari tradisi (etnis Surakarta). Pada waktu yang baru lalu, ketika mengikuti audisi pada Festival Seni Surabaya telah melahirkan sebuah karya tari dengan pendekatan teknik gerak tari yang sangat jauh dengan budaya yang selama ini ia tekuni.
Sri Mulyani yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur untuk menjadi duta dalam Festival Karya Tari di Jakarta pada bulan Agustus yang baru lalu juga telah berhasil melahirkan karya tari yang system produksinya dibangun secara kolektif dan kolaboratif. Karya yang dihasil mencerminkan usaha memadu berbagai cita rasa tradisi Jawa Timur dengan tidak terikat pada kualitas etnik tertentu.
Ketiga contoh di atas (mungkin masih banyak yang lain) merupakan sebuah gambaran fenomena pertumbuhan koreografer kita dalam rangka mencoba untuk menembus ruang-ruang alternative dalam berekspresi dalam rangka pergaulan budaya (intraculturalisme atau interculturalisme). Ciri khas Dalam sebuah kolase budaya semacam ini menurut pavis seperti dikutip oleh Sal Murgiyanto (1998: 64) bentuk-bentuk dan trknik-teknik tarian tradisional dipakai tanpa melihat fungsi etnologisnya dalam kebudayaan aslinya. Dan tampaknya forum-forum festival, pelatihan, apresiasi, serta kegiatan yang bersifat kolaboratif dapat memacu percepatan proses silang budaya di Jawa Timur.
D. Menatap Perkembangan Global
Globalisasi telah merambah pada seluruh sendi kehidupan masyarakat dimanapun ia berada. Tak seorang pun dapat membendung pertumbuhan yang namanya globalisasi. Hal-hal yang dulunya tidak pernah kita lihat, sekarang secara cepat berada di sisi kita. Proses globalisasi ini kemudian memungkinkan terjadinya berbagai macam silang budaya atau bahkan benturan budaya.
Seperti yang telah dikatakan di depan bahwa secara khusus tantangan budaya di masa yang akan datang selalu dikaitkan dengan persoalan modernisasi dan tradisi. Sementara dalam pandangan multikuturalisme ada konsep penciptaan karya seni yang berkembang pada diri kreator (koreografer), yakni konsep radikal kemandirian, mencipta budaya sendiri dari hasil belajar budaya lain, dan budaya peradaban kapitalistik isdustrialisasi. Konsep radikal kemandirian ini biasanya berakhir pada bentuk sikap yang tidak lagi mepedulikan budaya, dan mungkin terwujud dalam bentuk-bentuk karya yang bernuansa post modern; sementara jenis yang kedua ini lebih mencerminkan produk-produk yang bernuansa silang budaya; sedangkan yang ke tiga adalah karya-karya seni yang orientasinya pada keuntungan secara financial.
Berkait dengan masalah ini saya akan merujuk pendapat Chua Soo Pong perihal tantangan global yang identik munculnya persoalan nyata saat ini.
Uang, pada kenyataannya sebagian besar seni pertunjukan berkembang menjadi bentuk-bentuk hiburan dan komoditi komersial. Sebagai komoditi komersial, maka para pekerja seni akan memiliki arti baru sebagai pencetak uang. Dulu dukungan financial semacam ini lebih sebagai bentuk patronasi. Bila pemburuan financial ini selalu dikejar, pekerja seni semacam ini akan terjebak kepada tuntutan penonton semata, tidak dapat dengan bebas memenuhi tuntutan idealisme berkeseniannya. Pada akhirnya apakah betul uang dapat membebaskan persoalan dan atau justru akan membelenggu proses kreatifnya.
Teknologi, kecenderungan penyajian pertunjukan tertentu dilakukan dengan selalu dengan menghadirkan teknologi. Padahal bila itu dilakukan justru dapat menhilangkan ciri khas dari pertunjukan tersebut dan akhirnya tidak lagi menyerupai apa yang diinginkan. Bila terjadi semacam ini apakah ini sebuah kemajuan atau kemunduran?
Profesionalisme, banyak seni pertunjukan amatir yang diarahkan untuk jadi professional dengan mengajarkan efektivitas serta mengangkat prestos. Di sisi lain akan mengikis daya hidup seni amatir dengan tidak lagi mampu membangun patronasi dengan masyarakatnya. Apakah betul hal ini dianggap pengembangan jutru bukan penyempitan?
Kolaborasi, ini dipandang sebagai piranti potensial dalam sebuah pertunjukan, karena para pekerja seni akan dapat melakukan kompromi sekaligus mencampuradukan bentuk-bentuk seni. Betulkah ini dianggap sebagai memperkuat atau justru memperlemah?
Peminjaman, pada saat para pekerja seni mudah melintas batas budaya, wajar bila mereka selalu meminjam motif, material, atau konsep dari mana saja dalam rangka menyuntikan kreativitasnya. Bila hal ini dilakukan kemungkinan besar mereka akan kehilangan ciri khas identias dirinya; sehingga dalam persoalan ini bukan pengembangan yang didapat tapi justru akan pengaburan.
Kebudayaan, kehidupan kota yang telah merubah seni sebagai bagian inheren dalam kehidupan menjadi seni sebagai kesenangan. Penjualan tiket dalam jumlah tertentu atau menciptakan ruang-ruang tertentu dapat menciptakan sekat-sekat yang berbentuk elitisme seni dan hanya masyarakat tertentu yang dapat menikmatinya. Pada akhirnya seni tidak lagi dimiliki masyarakat secara komunal.
Identitas, warisan budaya sebagai identitas nasional penting dilindungi dan seharusnya mendapat support dana dan dukungan penonton, namun kenyataanya sebaliknya. Kesenian dari barat atau yang dibaratkan mendapat dukungan yang lebih besar. Apakah ini menunjukan budaya tradisional sebagai budaya inferior dan barat atau yang dibaratkan adalah superior.
Dari ketujuh kenyataan ini jelas-jelas sangat mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi proses kreatif kita. Dan yang paling tahu dan mengerti tentang kemana langkah serta posisi kita adalah diri kita sendiri. Semakin kita bisa atau banyak membandingkan dikotomi tersebut di atas semakin “sempurna” kita melangkah. Oleh karena itu untuk menyikapi segala kemungkinan yang terjadi pada dunia yang global ini, sebaiknya seorang koreografer belajar terhadap berbagai perbedaan yang ada dalam rangka menemukan jati dirinya. Bagaimanapun hal ini sangat erat kaitannya dengan motivasi serta filosofi yang tumbuh atau dibagun pada seorang koreografer dalam rangka melakukan proses kreatifnya.
Ketika filosofi kekaryaan itu muncul sebagai usaha untuk memperkokoh eksistensi identitasnya, maka ada pikiran Lu Xun yang dikutip oleh Tiang Feng (1998:52) sangat menarik, yakni: “Semakin besar hal-hal karakteristik nasional yang dimiliki semakin mudah menjadi internasional” hal ini memberi makna bahwa semakin nampak indentitas kita semakin mudah untuk menggelobal.
E. Penutup
Akhirnya apapun yang dilakukan oleh seorang koreografer dalam menciptakan karyanya adalah sebuah realita perkembangan dunia tari dalam rangka menuju pada era global. Untuk mengarah pada kesadaran filosofis dalam berkarya, setidaknya seorang koreografer memiliki kejujuran, terbuka, kritis, kreatif, serta berwawasan luas. Pada tahap awal dalam proses kreatif dibenarkan bila sebagai pemula koreografer tirumeniru baik dalam hal konsep ataupun bentuk yang telah ada, selanjutnya kesadaran membangun estetika dan kreativitas sangat diperlukan dalam perkembangannya. Dalam rangka membangun eksistensi identitas pada dunia global sebaiknya berorientasi pada usaha memperkokoh karakteristik local.
DAFTAR PUSTAKA
Chua Soo Pong. 1998 Permasalahan Multikulturalisme Tantangan Kultur di Era Baru Kota-kota Multikultur. Dalam Keragaman dan Silang Budaya Dialog Art Summit. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung: MSPI.
M. Jazuli. 2000. “Seni Pertunjukan Global: Sebuah Pertarungan Ideologi Seniman”. Dalam Global Lokal. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung: MSPI.
Peni Puspito. 2005. Membangun Ekspresi Lewat Koreografi. Makalah disajikan pada acara Pelatihan Korografer di Kabupaten Sumenep Agustus 2005.
Sal Murgiyanto. 1998
Tian Feng. 1998. “Pencarian makna perubahan: Kajian Awal Tentang Modernitas, Tradisi, dan Kebangkitan Budaya Pluralistik” Dalam Keragaman dan Silang Budaya Dialog Art Summit. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung: MSPI.
Yasraf Amir Piliang. 2000. “Global/Lokal: Memepertimbangkan Masa depan” Dalam Global/Lokal. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung: MSPI
Senin, 04 Juli 2011
Metode Pembelajaran Seni
METODE PEMBELAJARAN KESENIAN
DI SEKOLAH DASAR JENJANG SEKOLAH DASAR
Oleh Peni Puspito
A. Pendahuluan
Pendidikan Seni Budaya adalah istilah baru yang muncul dalam kurikulum pendidikan seni di sekolah kita pada saat ini. Karena merupakan istilah yang baru, maka banyak sekali guru-guru kesenian kita yang masih belum akrab dan bahkan meraba-raba dalam memberikan materi Pendidikan Seni Budaya ini kepada peserta didiknya. Hal ini tercermin dari beberapa satpel yang dibuat oleh para guru (walau Pendidikan Seni sudah berubah menjadi Pendidikan Seni Budaya) masih relative tidak ada perbedaan dengan yang lama dalam menentukan tujuan ataupun kompetensi dasar pembelajarannya. Selanjutnya pertanyaannya, kalau dari sisi materi tidak berbeda perlukah muncul istilah Pendidikan Seni Budaya dalam kurikulum sekolah kita?
Sejak Orde Baru, pendidikan kesenian yang syarat dengan pendidikan moralitas, etika atau apa pun yang bersifat pelestarian atau pengembangan nilai-nilai luhur budaya bangsa di sekolah kita nyata terlihat dikesampingkan, karena pemerintah pada saat itu sangat konsen terhadap pendidikan yang berorientasi pada teknologi atau pun eksak. Sampai saat ini pun (walau sudah jelas Pendidikan Seni masuk dalam kurikulum intra di sekolah) tidak sedikit Kepala Sekolah yang belum menyelenggarakan Pendidikan Seni sebagai pendidikan yang sangat penting dikembangkan untuk anak didiknya. Pemahaman tentang tidak pentingnya pendidikan seni di sekolah semacam ini bukan saja berkembang di lembaga-lembaga pendidikan kita, tetapi masyarakat pun juga tidak sedikit yang kena virus semacam ini; yakni, menganggap bahwa pendidikan seni itu tidak memiliki kontribusi atau peran penting bagi kehidupan manusia di masa depan. Seni dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan hidup manusia, tidak bisa membuat orang menjadi kaya, tidak bisa menjamin status seseorang, dan masih banyak lagi alasan yang bisa dikemukakan. Mereka telah terjebak dengan pemahaman bahwa, orang yang pandai hanyalah orang-orang yang mengerti dan menguasai bidang eksak dan teknologi, sedangkan bidang kesenian dianggap sebagai sekumpulan orang yang sangat termarginalkan.
Pada kenyataannya (bila kita perhatikan secara seksama) saat ini perkembangan kesenian kita baik dalam konteks pendidikan atau keseniamanan relative belum mampu memberikan kontribusi secara signifikan terhadap perkembangan budaya kita. Lantas kalau hal ini benar, kemudian siapa yang harus dipersalahkan? Lembaga Pendidikan? Kepala Sekolah? Guru? Seniman? Masyarakat? Pemerintah? Peserta didik? Sistem Pendidikan? Atau yang lain? Rupanya tidak perlu kita mempersalahkan satu sama lain, karena semua ini tentunya akan saling mengkait seperti lingkaran setan, oleh karenanya dalam menyelesaikan persoalan ini kata orang bijak marilah kita introspeksi terhadap diri kita masing-masing.
B. Pendidikan Seni Budaya
Kita setidaknya sedikit merasa lega ketika Pendidikan Seni masuk ke dalam kurikulum intra di sekolah, walau mungkin bila dilihat dari jumlah jam yang dialokasikan atau disediakan tampaknya belum cukup memadai secara ideal. Mengapa demikian, karena dari jam yang disediakan, dirasa tidak sebanding dengan materi yang ingin disampaikan oleh seorang guru. Di sini guru dituntut untuk menyampaikan berbagai cabang kesenian, seperti: seni tari, seni musik, seni drama, seni rupa dan kerajinan. Untuk membahas salah satu cabang seni saja, mungkin waktu yang disediakan belum tentu bisa tuntas apalagi membagi waktu untuk berbagai cabang seni tersebut. Lalu, kalau masalahnya demikian apakah perlu kita berbondong-bondong menghadap ke Menteri Pendidikan Nasional guna meminta tambahan jam untuk matapelajaran Pendidikan Seni di sekolah?
Sebelum pelajaran seni budaya ini masuk dalam kurikulum di sekolah, banyak sekali sekolah-sekolah yang tidak mau peduli terhadap pendidikan kesenian. Kalau toh ada yang peduli, tak pernah mau berusaha untuk mencari guru pamong yang memiliki kompetensi di bidang studi ini, sehingga kualitas pembelajarannya akan semakin bagus Pelajaran seni rupa diangap dapat mewakili matapelajaran kesenian, karena secara teknis cabang seni ini memang tidak merepotkan penyelenggara pendidikan. Oleh karenanya hampir disemua sekolah matapelajaran seni cukup diwakili dengan pelajaran seni rupa dan ketrampilan, sedangkan seni lainnya nyaris tidak pernah menjadi pertimbangan untuk dikembangkan di sekolah. Ironisnya bila ada salah satu sekolah yang ingin memaksa hadirnya seni pertunjukan disekolah, diambilah guru (seni rupa atau yang lebih parah guru olahraga , matematika, dan mungkin bahasa Inggris) yang sekiranya memiliki ketrampilan di bidang seni tersebut dibebani untuk mengajarnya, sehingga dalam hal ini kompetensi guru secara kualitas perlu dipertanyakan. Adalagi sekolah yang sudah memiliki guru kesenian (seni pertunjukan), tetapi tidak pernah di beri tanggungjawab mengajar kesenian (justru diberi jam untuk mengajar Bahasa Daerah, Indonesia dan lainnya) karena sekolah tidak punya kehendak untuk memasukan matapelajaran seni dalam pendidkan di sekolahnya.
Gambaran kondisi semacam ini tentunya sangatlah menyedihkan bagi orang yang berkecipung dan memahami seberapa jauh dampak pendidikan kesenian dalam kehidupan masyarakat dan bermasyarakat. Ketika masyarakat sudah mulai menunjukan ekspresinya melalui acam mengancam atau demontrasi dengan laku yang anarki, orang mulai mengkaitkan masalah pendidikan etika dan estetika sebagai salah satu biang keladi yang harus bertanggungjawab. Kenapa demikian, karena disinyalir ada keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan kesenian dengan sikap moral seseorang.
Munculnya matapelajaran Seni Budaya di sekolah merupakan sebuah pemikiran yang sangat tepat (kalau tidak mau dikata terlambat), dimana pada saat ini masyarakat kita sudah mulai menunjukan situasi krisis multidemensi termasuk di antaranya kebudayaan. Pendidikan kesenian harus mampu memiliki kontribusi positif terhadap perkembangan kebudayaan kita (atau setidaknya aspek moralitas bangsa). Apabila dulu pendidikan seni kita terlalu konsen terhadap masalah-masalah bentuk dan teknik belaka, maka saat ini haruslah merubah cara pandang dengan memperdalam jangkauan pembelajaran seni melalui perspekti yang lebih luas, yakni kajian terhadap nilai-nilai historis, filosofi, etika/moral, dan keindahan. Pendidikan Seni Budaya adalah sebuah matapelajaran yang diharapkan mampu memberikan pembelajaran seni melalui perspektif kebudayaan seperti tersebut.
C. Pendidikan Seni Budaya Sebagai Bidang Studi di Sekolah
Seperti telah dikemukakan pada awal tulisan ini, bahwa matapelajaran Seni Budaya merupakan istilah baru yang muscul dalam kurikulum kita saat ini. Bila dibandingkan dengan istilah matapelajaran pendidikan seni (kesenian) yang dulu juga pernah muncul dalam kurikulum tentunya memiliki makna yang berbeda. Perbedaan yang mencolok di sini adalah munculnya istilah atau kata budaya, sehingga makna pengertiannya menjadi sangat berbeda; dan tentunya perbedaan ini harus tercermin sampai pada implementasi tujuan, strategi atau proses pembelajarannya.
Kalau tidak salah, sampai saat ini belum ada panduan yang secara spesifik menjelaskan bagaimana yang baik (benar) dalam peaksanaan pembelajaran Seni Budaya ini, dan bahkan sejauh mana tuntutan standart kompetensi yang ideal diperlukan untuk mata pelajaran ini. Walau dalam kurikulum telah menyebutkan standart kompotesi yang hendah dicapai, namun tugas seorang guru masih dibebani lagi untuk berlaku kreatif dalam menafsirkan segala kemungkinan yang terjadi dalam pengembangannya. Hal ini sangat berbeda dengan mata pelajaran ilmu pasti, semuanya telah dijabarkan secara jelas dan pasti. Apakah pelajaran seni budaya juga akan dibuat seperti ilmu pasti? Tentunya tidak karena dalam matapelajaran seni budaya memiliki karakter yang sangat khas untuk dapat dikembangkan dalam proses pembelajarannya. Dalam hal ini tentunya diperlukan proses dialogis antara sesame guru Seni Budaya dalam rangka menyamakan persepsi matapelajaran ini.
Bila dilihat secara substansial, pendidika seni dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yakni:
1. Pembelajaran seni yang mengarahkan semua aspek kompetensi matapelajaran menuju pada kemampuan peserta didik untuk dapat melakukan atau terampil secara teknik tentang seni yang diajarkan. Harapannya setelah peserta didik itu terampil, dapat melestarikan (mewarisi) dan mampu mengembangkan kesenian tersebut. Pembelajaran semacam ini biasanya dilakukan oleh lembaga pendidikan yang secara khusus mencetak peserta didiknya untuk menjadi seniman atau sejenisnya secara professional, misalnya di sekolah tingkat menengah ada SMKN 9 (dulu SMKI), di tingkat perguruan tinggi ISI, STSI, STKW Surabaya dan sebagainya.
2. Pembelajaran seni yang tidak terlalu menuntut peserta didiknya menguasai secara teknik tentang kesenian yang dipelajari, namun lebih mengarah pada pembelajaran dengan menggunakan media seni sebagai pendekatan tercapainya pendidikan secara umum. Dalam hal ini pendidikan seni semata-mata tidak untuk kepentingan seni itu sendiri, melainkan mengarahkan pada pencapaian keseimbangan antara aspek emosional dan rasional, serta aspek kognitif, afektis, dan psikomotorik peserta didik. Jenis pendidikan seni semacam ini mungkin lebih cocok untuk lembaga pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMU dan sejenisnya.
Dalam rangka memperjelas kompetensi yang akan dibuat dalam pembelajaran seni, tidak ada salahnya bila terlebih dahulu seorang guru memahami fungsi dari pendidikan seni. Ada beberapa fungsi pendidikan seni, di antaranya:
1. Sebagai media bermain dan berekspresi, diharapkan peserta didik dapat memperoleh pengalaman yang bersifat rekreatif, mau dan mampu menuangkan ekspresi jiwanya dalam rangka menunjukan eksistensi kepribadiannya.
2. Sebagai media pengembangan bakat dan kreativitas, artinya selain dapat digunakan sebagai wahana dalam mengembangkan bakat (kemampuan bawaan) juga sebagai media pengembangan kemampuan daya cipta peserta didik.
3. Sebagai media komunikasi, yakni dengan kegiatan berkesenian baik melalui proses kreatif maupun bentuk kekaryaannya dapat membangun pengalaman komunikasi antara individu dan masyarakat/lingkungan atau sebaliknya.
4. Sebagai media membangun sensitivitas etik dan estetik, merupakan pembelajaran seni yang diarahkan pada kepekaan peserta didik terhadap kaidah-kaidah nilai etika dan estetika yang terkandung dalam sebuah kesenian
5. Sebagai media pengembangan pengetahuan, karya seni yang diciptakan oleh manusia ternyata bukan sekedar memiliki nilai-nilai emosional semata, namun juga memiliki daya rasionalitas yang kuat. Berbagai produk kesenian tercipta atas pengetahuan seseorang terhadap fenomena segala kedihupan yang ada di alam semesta ini. Oleh karenanya masih sangat relevan bila pendidikan kesenian dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan.
Terkait dengan materi pembelajaran seni di sekolah, biasanya kita dapat memisahkan ke dalam 3 (tiga) wilayah bahasan, yaitu:
1. Wilayah pengetahuan Seni
Merupakan wilayah pembelajaran yang banyak mengasah atau melatih peserta didik untuk mengembangkan aspek kognitifnya. Kemampuan kritis menelaah karya seni dan permasalahannya menjadi topik yang sangat penting dalam pembahasan materi pembelajarannya. Pendekatannya bisa dilakukan melalui konsep pendekaatan lintas disiplin, misalnya sejarah, social, budaya, filsafat, dan sebagainya.
2. Wilayah apresiasi seni
Wilayah ini memiliki kecenderungan untuk mengantarkan peserta didik pada perkembangan ranah afektifnya. Kegiatan apreseasi seni ini, biasanya berkait dengan kegiatan pengamatan karya seni yang kemudian dilanjutkan dengan penilaian. Jenis apresiasi ada yang bersifat aktif dan ada pula yang dilakukan secara pasif. Pengamatan aktif artinya kegiatan pengamatan karya yang kemudian dilanjutkan dengan sikap kritis yang dapat memacu melahirkan karya-karya inovatif dan juga menubuhkan rasa cinta seseorang, sedangkan yang pasif hanya sekedar mengamati karya dan selanjutnya lepas dari agannya
3. Wilayah pengalaman kreatif
Kecenderungannya merupakan kegiatan pembelajaran yang berkenaan dengan cara-cara dalam melakukan proses kreatif atau pembuatan karya seni. Sasaran pembelajarannya lebih mengarah pada ranah psikomotorik. Dalam wilayah ini hal yang perlu dipersiapkanuntuk siswa adalah kemampuan mengembangkan gagasan, interpretasi, imaginasi, dan menangkap fenomena lingkungan sebagai sumber tema; penguasaan teknik serta pengetahuan berbagai media dan teori komposisi; serta kemampuan memanage sebuah pameran atau pertunjukan.
Dari ulasan di atas, kemudian pendidikan seni budaya di sekolah perlukah diarahkan pada konsep pendidikan yang berorientasi kepada ketrampilan teknik yang pada akhirnya peserta didik diharapkan mampu sebagai pewaris dan pengembang kesenian kita? Sebagai matapelajaran di sekolah umum tentunya berat sekali. Banyak para guru yang merasa stress ketika anak didiknya tidak mampu melakukan teknik dengan baik yang akhirnya pada setiap ada kegiatan yang dinominasikan tidak pernah meraih nominasi. Indikasi semacam ini menunjukan bahwa kita sebagai guru seolah memelihara sifat arogansi kita dengan mengeksploitasi anak didik untuk kepentingan pribadi (kadang mengatasnamakan kepentingan lembaga). Oleh karenanya konsep pendidikan seni budaya di sekolah sebaiknya mengadopsi teori bahwa pendidikan seni adalah pendidikan yang menggunakan seni sebagai media untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum, wilayah pembelajarannya lebih ditebalkan pada pengembangan aspek Kognitif dan Afektif, sedangkan psikomotoriknya walau menjadi tuntutan namun tidak terlalu menghalangi siswa untuk belajar seni budaya.
D. Lesson Study Sebagai Alternatif Pendekatan Kegiatan Pembelajaran Seni Budaya di Sekolah
Akhir-akhir ini perkembangan pendidikan kita sudah mengalami percepatan peningkatan kualitas. Hal ini terjadi setelah berbagai peristiwa yang dialami bangsa kita mulai menerima dampak dari system pendidikan yang tidak pernah diurus secara serius oleh pemerintah selama ini. Peristiwa keberanian seorang siswa mengacam pengawas UAN beberapa waktu lalu jelas turut andil dalam mencoreng system pendidikan kita. Tonggak keseriusan pemerintah dalam tanggungjawabnya terhadap pendidikan di Negara ini adalah dengan dinaikannya anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 20% serta telah disahkannya undang-undang tentang guru dan dosen. Berbagai upaya yang mengarah pada peningkatan kualitas mutu pendidikan telah banyak dilakukan oleh pemerintah melalui proyek-proyek yang diberikan kepada lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini.
Perubahan-perubahan paradigma dalam pendidikan telah banyak dilakukan, implementasi yang sangat dapat kita rasakan sebagai guru kesenian adalah lahirnya bentuk kurikulum yang dikenal dengan KBK dan kemudian dikembangkan lagi menjadi KTSP. Karakteristik dari kurikulum ini adalah berorientasi pada konsep pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan Dari sini pula kemudian lahir berbagai strategi pembelajaran yang dianggap lebih optimal untuk memudahkan siswa mengikuti proses belajar mengajar di sekolah. Dalam hal ini kemudian dapat kita ketahui bahwa pendekatan pembelajaran yang dulu lebih menggunakan pendekatan behavioritik, sekarang berkembangan menjadi konsrtuktivitik. Ini karena faham konstruktifvistik dianggap lebih unggul dalam memcahkan persoalan proses belajar mengajar disekolah.
Usaha-usaha pembenahan system, strategi, metode atau apapun namanya dalam pembelajaran, banyak dilakukan oleh para pakar melalui lembaganya masing-masing. Hal ini merupakan sebuah reaksi dari anggapan bahwa tidak ada pembelajaran yang sempurna. Belum lama ini Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan di Bandung (UPI) mencoba mengembangan sebuah kegiatan pembelajaran yang diadopsi dari Jepang disebut dengan Lesson Study. Dari beberapa lembaga pendidikan yang telah mencoba mengembangkan kegiatan ini memberikan tanggapan yang positif terhadap peningkatan mutu pendidikan. Latar belakang munculnya bentuk ini, merupakan reaksi kritis dari para pakar tentang belum tercapainya peningkatan kualitas mutu pendidikan yang ideal.
Lesson Study adalah sebuah model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkesinambungan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual untuk membangun komunitas belajar. Adapun tujuan yang ingin dicapai, meliputi: 1) Ditemukan berbagai model pembelajaran, 2) tercapainya komunitas belajar, 3) Terbentuknya kesetaraan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran.
Bentuk pelaksanaan kegiatan ini meliputi 3 (tiga) komponen, yakni:
1. Perencanaan (plan). Guru, dosen atau pakar/seniman atau siapa yang dipandang memiliki keahlian dibidang yang sama, berkolaborasi rencanakan sebuah kegiatan pembelajaran yang terfokus pada siswa.
2. Implementasi (do). Seorang guru memperagakan model pembelajaran yang sudah direncanakan, sementara guru yang lain, kepala sekolah, pakar/seniman, pengawas dari dinas, atau bahkan orang tua wali melakukan observasi pembelajaran di kelas, terutama untuk mengetahui aktifitas siswa berupa interaksi siswa-siswa, siswa-bahan ajar, siswa-guru selama proses belajar mengajar berlangsung.
3. post-class discussion (see). Setelah proses belajar mengajar selesai, guru dan observer melakukan diskusi untuk bertukar pengalaman setelah melakukan observasi. Diskusi bisa dipimpin kepala sekolah, guru menyampaikan kesan-kesannya selama melaksanakan pembelajaran, selanjutnya observer menyampaikan saran-saran untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Setelah itu, pada akhir semester dilakukan kegiatan Seminar untuk berbagi pengalaman dalam menerapkan lesson study.
Model kegiatan semacam ini tampaknya bisa digunakan sebagai salah satu alternative pembelajaran Seni Budaya di sekolah, mengingat bahwa karakteristik wilayah budaya kita sangat beragam; sekaligus akan membantu keberagaman kompetensi yang dimiliki guru bidang studi Seni Budaya ini.
E. Penutup
Sebagai matapelajaran baru, Pendidikan Seni Budaya harus mampu membangun pardigma baru pendidikan kesenian yang mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan budaya masyarakatnya. Untuk itu ke depan diperlukan usaha-usaha kreatif inovatif dalam mengembangkan strategi atau model-model pembelajaran sesuai dengan karakteristik yang dimiliki, sehingga Pendidikan Seni Budaya mampu berperan dalam kehidupan masyarkatnya.
Demikian tulisan yang dibuat dengan sangat singkat, padat, dan dangkal ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah B. Uno. 2008. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Muslimin Ibrahim. 2000. Mengajar Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA University Press.
Muslimin Ibrahim, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA University Press.
Soeparman Kardi, Mohamad Nur. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya: UNESA University Press.
Sumar Hendayana, dkk. 2006. Lesson Study: Satu Strategi Untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik. Bandung: UPI Press
Langganan:
Postingan (Atom)