Dua gelombang kegiatan sertifikasi guru bidang studi seni budaya berakhir pada hari selasa 23 Agustus 2011. Pada dasarnya bila ditanyakan kepada para peserta, sebagian besar menyatakan sangat senang mengikuti sertifikasi dalam bentuk PLPG. Setidaknya ada beberapa alasan yang menjadi penyebab semangatnya mengikuti kegiatan PLPG. Pertama banyak materi baru yang diperoleh dalam PLPG, kedua menemukan wawasan baru dalam pengembangan pembelajaran di kelas, ketiga motivasi dari tutor yang sangat positif dalam mengembangkan karakter guru, serta bertemunya guru bidang studi seni budaya dari berbagai daerah dan sekolah. Hal yang terekam dari kegiatan ini, yakni para guru yang pada awalnya menggunakan model terpusat pada guru dalam kegiatan peer teaching ingin mencoba merubah ke terpusat pada peserta didik, walaupun kadang kelihatan agak sulit menerapkan model ini. selain itu ada guru yang sebelum ikut sertifikasi lebih banyak berkecipung dalam kegiatan kesenian sehingga agak lupa dengan kompetensi gurunya. yang paling menantang bagi para peserta adalah waktu penyelenggaraannya bertepatan dengan bulan puasa.
Senin, 22 Agustus 2011
Kamis, 04 Agustus 2011
Wayang Wong THR Surabaya Dalam Transisi Dari Profesional ke Amatir
Citra Taman Hiburan Rakyat (THR) di Surabaya sat ini bila di bandingkan dengan masa tahun 70-an jauh mengalami kemunduran. Masalah ini tentunya tidak bisa terlepas dari perkembangan tata nilai masyarakat pendukung dan juga pola pembangunan yang didesain oleh pemerintahnya. THR yang dulunya banyak dikunjungi masyarakat, sekarang sudah tidak lagi menjadi idaman orang untuk berekreasi atau mencari hiburan. Berdirinya bangunan Mall di depan THR menurut beberapa orang menjadi penyebab dari situasi saat ini.
Komitmen pemerintah kota surabaya dalam rangka mempertahankan eksistensi THR, tampaknya masih terasa memiliki kepedulian; walau bila dilihat kenyataannya tidak menunjukan adanya kemajuan yang signifikan. Terkesan Pemerintah Kota Surabaya sudah angkat tangan untuk berusha mencari gagasan-gagasan atau terobosan baru dalam memberikan solusi terbaik yang sifatnya komperhensip.
Bentuk kepedulian Pemerintah kepada kelompok-kelompok kesenian yang duu sangat populer di THR adalah dengan memberikan suport dana pementasan sekali pentas dalam satu minggu. Itupun untuk semua kelompok yang masih tetap eksis (walau tidak mau dikata mati) yang dilakukan secara bergantian, misalnya jumat minggu pertama ketoprak, kedua wayang orang, ketiga ludrug dan seterusnya.
Dari kondisi yang semacam ini, seniman-seniman yang dulunya aktif mendukung eksistensi kesenian di THR, sekarang banyak yang meninggalkannya. Mereka lebih merasa nyaman hidup di luar lingkugan THR. Dengan demikian seniman-seniman THR sekarang banyak yang meninggalkannya dan dampaknya kesenian-kesenian trsebut kehilangan aktornya. mantan senian yang meninggalkan THR banyak sekali yang alih profesi, dari seiman ada yang menjadi guru, berdagang dan sebagainya.
Berkurangnya seniman yang mendukung kesenian tersebut menyebabkan bingungnya pengelola seni yang masih tetap memiliki konsistesi dalam menjaga kelestarian kesenian tradisional kita. Beruntung pada saat ini masih ada kelompok masyarakat (justru dari kalangan pendidikan apakah dosen atau mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di surabaya) yang peduli terhadap masalah ini, sehingga kekurangan-kekurangan yang dialami setidaknya dapat sebagai penyelamat kelangsugan hidup kesenian di THR ini.
Pertunjukan Wayang orang yang digelar pada hari jumat, tanggal 29 Juli 2011menunjukan fenomena terjadinya transisi dari gerenasi profesional ke generasi amatir. Pertunjukan pada malam hari itu, menunjukan para pemainnya hampir keseluruhan bukanlah pendukung yang dulu pernah menjadi seniman THR, kalau toh ada dapukan atau castingnya tidak pada posisi tokoh atau peran penting. Akirnya bila dilihat dari sisi kualitas maka munculah perbedaan yang signifikan. Dari sisi joged atau gerak tari relatif lebih memiliki bentuk yang terkontrol, namun dari sisi vokal dan antawacana atau dialog para penyajinya masih perlu belajar lebih jauh lagi.
Fenomena ini tentunya tidak bisa haya dengan pikran negatif, yang paling penting bagaiana ke depan masalah ini bisa ditangani dengan sebik-baiknya.
Komitmen pemerintah kota surabaya dalam rangka mempertahankan eksistensi THR, tampaknya masih terasa memiliki kepedulian; walau bila dilihat kenyataannya tidak menunjukan adanya kemajuan yang signifikan. Terkesan Pemerintah Kota Surabaya sudah angkat tangan untuk berusha mencari gagasan-gagasan atau terobosan baru dalam memberikan solusi terbaik yang sifatnya komperhensip.
Bentuk kepedulian Pemerintah kepada kelompok-kelompok kesenian yang duu sangat populer di THR adalah dengan memberikan suport dana pementasan sekali pentas dalam satu minggu. Itupun untuk semua kelompok yang masih tetap eksis (walau tidak mau dikata mati) yang dilakukan secara bergantian, misalnya jumat minggu pertama ketoprak, kedua wayang orang, ketiga ludrug dan seterusnya.
Dari kondisi yang semacam ini, seniman-seniman yang dulunya aktif mendukung eksistensi kesenian di THR, sekarang banyak yang meninggalkannya. Mereka lebih merasa nyaman hidup di luar lingkugan THR. Dengan demikian seniman-seniman THR sekarang banyak yang meninggalkannya dan dampaknya kesenian-kesenian trsebut kehilangan aktornya. mantan senian yang meninggalkan THR banyak sekali yang alih profesi, dari seiman ada yang menjadi guru, berdagang dan sebagainya.
Berkurangnya seniman yang mendukung kesenian tersebut menyebabkan bingungnya pengelola seni yang masih tetap memiliki konsistesi dalam menjaga kelestarian kesenian tradisional kita. Beruntung pada saat ini masih ada kelompok masyarakat (justru dari kalangan pendidikan apakah dosen atau mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di surabaya) yang peduli terhadap masalah ini, sehingga kekurangan-kekurangan yang dialami setidaknya dapat sebagai penyelamat kelangsugan hidup kesenian di THR ini.
Pertunjukan Wayang orang yang digelar pada hari jumat, tanggal 29 Juli 2011menunjukan fenomena terjadinya transisi dari gerenasi profesional ke generasi amatir. Pertunjukan pada malam hari itu, menunjukan para pemainnya hampir keseluruhan bukanlah pendukung yang dulu pernah menjadi seniman THR, kalau toh ada dapukan atau castingnya tidak pada posisi tokoh atau peran penting. Akirnya bila dilihat dari sisi kualitas maka munculah perbedaan yang signifikan. Dari sisi joged atau gerak tari relatif lebih memiliki bentuk yang terkontrol, namun dari sisi vokal dan antawacana atau dialog para penyajinya masih perlu belajar lebih jauh lagi.
Fenomena ini tentunya tidak bisa haya dengan pikran negatif, yang paling penting bagaiana ke depan masalah ini bisa ditangani dengan sebik-baiknya.
Langganan:
Postingan (Atom)