Pada hari Kamis
yang baru lalu tepatnya tanggal 24 Mei 2012 Dewan Kesenian Surabaya (DKS)
menggelar acara yang diberi nama Temu Koreografer Muda. Acara ini digelar di
Galeri Balai Pemuda, jl. Gubernur Surya 15 Surabaya. Tujuannya, selain membuka ruang bagi koreografer untuk
menyalurkan ekspresi melalui karya-karyanya juga membangun forum komunikasi
antar seniman dan penghayatnya. DKS pada saat itu mengundang tiga penata tari
muda yakni Yulian aprianti dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Anis dari
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya (STKW), dan Paramudita Arbella dari
Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Setelah dibuka
oleh Sabrot M (ketua DKS), pertunjukan diawali dengan penyajian karya Yulian
Aprianti yang berjudul Garis Merah. Karya
yang merupakan tarian tunggal ini diinspirasi dari kondisi kehidupan free sex
atau seks bebas yang merajalela di negara kita. Dengan properti sebuah balon
yang dimainkan dengan cara meniup pada adegan-adegan terakhir ingin menghimbau
kepada penonton supaya tidak terjerumus dalam budaya seks bebas. Walaupun disajikan
dengan tanpa menggunakan alunan musik, karya ini sangat menarik untuk
dinikmati. Melalui kemampuannya membuat struktur dan penggunaan teknik gerak yang
cukup bagus, tarian ini mampu memancing penonton untuk membangun atau
mengembangkan interpertasinya. Kelenturan tubuh serta pengalaman teba gerak
penari yang dilakukan sendiri oleh penatanya cukup memberikan apreisasi, namun
dari sisi penyimbolan motivasi atau isi perlu terus dieksplor, sehingga simbol
yang dihadirkan dapat tergeneralisasi dan mampu ditangkap oleh siapapun.
Penyaji kedua
adalah Anis yang mengusung karya berjudul Garwa. Sebuah tarian yang disajikan
oleh lima orang penari ini ingin berbicara tentang hubungan antara seniman
dengan proses kreatif itu tidak dapat dipisahkan seolah merupakan separuh dari
nyawanya. Garwa dapat diartikan sebagai sigarane
nyawa (separuh dari nyawa) dan bisa pula bermakna sebagai istri atau suami
yang kehadirannya sangat penting dalam kehidupan seseorang. Tarian yang diawali
dengan masuknya seorang penari di arena pentas dengan mengusung trap ini,
hingga berakhirnya pertunjukan juga tidak menghadirkan musik sebagai
pengiringnya. Tarian ini lebih memiliki keinginan untuk berbicara secara ferbal kepada penontonnya. Suara yang hadir dalam pertunjukan ini hanya datang dari seorang
penari yang seolah berperan sebagai seorang koreografer sedang memberikan
instruksi kepada para penarinya. Karena keinginannya untuk menggabarkan proses
kreatif, maka gerak yang dihadirkan banyak sekali pengulangan-pengulangan baik
adegan ataupun gerak. Gagasan-gagasan menarik dari sang koreografer adalah keinginannya
untuk membangun konsep estetika yang dekonstruktif, namun karena bekal yang
masih belum cukup untuk memahami konsep ini maka hal ini belum bisa dirasakan
oleh penonton.
Akhir dari
penyajian acara Temu Koreografer Muda ini ditutup oleh Paramudita Arbella
dengan karyanya berjudul Sekartaji. Dalam karya ini, koreografer ingin mencoba
mengeksplor nilai-nilai sastra panji yang berkait dengan bagaimana situasi
batin seorang Sekartaji yang ditinggalkan oleh suaminya Panji. Tarian ini di
tarikan oleh dua orang penari, dan diawali dengan seorang penari wanita on
stage dengan memanfaatkan kain side wing sebagai porperti yang ditarik hingga
di tengah panggung. Dengan gerak-gerak yang dominan mengeksplor tubuh bagian
tangan mencoba mengungkap kegelisahan seorang Sekartaji yang mendapatkan
berbagai gunjingan dan permasalahannya. Pada bagian tengah muncul seorang
penari dari back stage dengan memainkan backdroup. Munculnya seorang penari
putra dari back stage ini mampu mengajak penonton untuk mengembangkan
imajinasinya pada pertunjukan reog. Seolah penari tersebut sedang memainkan
dadak merak dalam pertunjukan reog. Interpretasi penonton kemudian mengkaitkan
antara pertunjukan yang didesain tidak memanfaatkan idiom tradisi kemudian
masuk pada wilayah persoalan tradisi. Tampaknya garis-garis kain baik pada back droup maupun
side wing sebagai properti sangat efektif dalam membangun garis-garis yang
imaginatif dalam menciptakan ruang.
Apapun evaluasi
terhadap karya-karya tersebut, fenomena yang dapat dipetik adalah munculnya
komunitas (koreografer muda) Perguruan Tinggi di ruang publik. Tentunya hal ini
penting selain untuk menyemarakan kehidupan tari, juga sebagai ruang belajar
mahasiswa di luar kampus. Mahasiswa yang biasanya dihadapakan pada hal-hal yang
konstruktif normatif maka sekarang mereka harus menemukan jati dirinya dalam berkesenian
yang mungkin tidak selamanya konsep-konsep kontruktif normatif menjadi pilihan
mereka dalam konsep berkeseniannya. Selamat dan Sukses untuk para
koreografer............