Jumat, 30 November 2012
FESTIVAL TARI GURU (Menjangkau Yang Tak Terjangkau)
Jumat, 02 November 2012
ESTETIKA LINGKUNGAN SEBUAH ALTERNATIF
Fenomena dalam pertumbuhan seni pertunjukan saat ini adalah kemasan yang selalu diarahkan pada estetika pertunjukan prosenium, benarkah? Jawabnya tidak juga, karena masih sering pula kita lihat pertunjukan yang tidak disajikan dalam kemasan panggung prosenium. Di beberapa daerah yang belum mempunyai panggung-panggung prosenium masih dengan kebiasaannya selalu menggelar pertunjukan di tempat-tempat 'seadanya' yang mereka miliki. Beberapa pertunjukan musik misalnya, masih sering dan bahkan dapat dikata menjamur untuk menggunakan pertunjukan outdoor atau terbuka. Bila dililat dari perspektif ini, maka seolah pertumbuhan seni pertunjukan kita tidak dalam ambang yang perlu kita bahas. Namun demikian bila kita cermati lebih jauh, sering kita saksikan pertunjukan-pertunjukan baik itu dalam forum-forum festival, lomba, atau pertunjukan karya kelas dan karya akhir mahasiswa di suatu perguruan tinggi yang membina seni memiliki kecenderungan menggunakan stage procenium -atau paling tidak menggunakan panggung- sebagai arena pergelarannya.
Konsep panggung semacam ini biasanya memiliki karakteristik penonton yang searah (hanya dilihat dari sisi depan)dan juga memberikan jarak antara pertunjukan dengan penonton.
Panggung atau arena yang semacam ini sebetulnya bukanlah milik kesenian kita. Kesenian kita pada awalnya hanya disajikan pada arena yang sangat akrab dengan penonton atau bahkan lingkungannya yaitu di tengah lapang dan bisa dilihat dari berbagai sisi. Tonil yang pada zaman penjajahan sering dihadirkan untuk menghibur para Kompeni dan kroninya di Indonesia mulai memperkenalkan bentuk pertunjukan yang menggunakan prosenium sebagai arenanya. Perkembangan pertunjukan kita tampaknya kemudian banyak terpengaruh dengan arena semacam ini terutama pada kesenian wayang orang dari mangkunegaran. Bukan hanya itu, bahkan kesenian-kesenian rakyat yang banyak berkembang di desa-desa juga turut terpenngaruh walau sarana dan prasarana yang dimiliki belum cukup untuk dikatakan ideal. Perkembangan konsep panggung semacam ini kemudian juga diperkuat oleh sekolah-sekolah formal kesenian yang pada saat itu bermunculan. Konsep dan ilmu-ilmu pertunjukan banyak mengadopsi dari Barat.
Hal ini ternyata memiliki dampak terhadap kuailitas seniman kita. Banyak para seniman yang kemudian tidak lagi mengakrabi lingkungan sebagai sumber pendewasaan berkesenaannya. Tentunya hal ini tidak juga dikatakan salah, namun akibatnya terjadi pendangkalan-pendangkalan nilai, sikap, serta wawasan berkesiannya. Banyak suara yang dilontarkan baik dalam forum formal maupun non, bahwa seniman kita mulai 'kehilangan' spiritualitas, emosilitas, dan bahkan intelektualitas; yang mereka kuasai hanyalah teknik dan bentuk fisik semata.
Dari fenomena ini mungkinkah kita berusaha mencoba menggali lagi potensi lingkungan sebagai modal dalam proses berkesenian kita. Pada akhirnya kita akan menemukan jati diri sebagai seniman yang mampu mengolah lingkungan sebagai dasar estetika berkesenian kita. tentunya ini sebuah wacana yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif.....
Langganan:
Postingan (Atom)