Senin, 14 Desember 2015
Sabtu, 04 April 2015
ARGUMENTASI
ARGUMENTASI
Oleh: Peni puspito
A.
Pendahuluan
Bila
kita menyaksikan sebuah pertengkaran, sering kali kita lihat orang yang
terlibat dalam pertengkaran tersebut selalu berusaha menghindar atau
mempertahankan diri dari kesalahan-kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Ia
selalu berusaha menghindar dari kesalahan-kesalahan ucapannya dan mencari pembenaran-pembenaran
yang dapat dipercaya oleh lawannya. Demikian pula ketika kita menyaksikan
sebuah persidangan, untuk menyelesaikan sebuah kasus di pengadilan antara Jaksa,
Hakim, dan Terdakwa masing-masing selalu terlibat dalam sebuah perdebatan yang
juga selalu mempertahankan pernyataannya dengan mencari pembenaran-pembenaran
yang logis. Dalam dunia akademik pun hal-hal serupa juga sering kita jumpai ketika
para akademisi sedang berdebat tentang penemuan teori barunya.
Fenomena
semacam ini sering kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai makluk
sosial dan berbudaya, manusia selalu mempergunakan budidayanya untuk selalu
bersosialisasi dan berkomunikasi dengan lingkungannya. Dalam rangka ini manusia
selalu mempergunakan akal yang logis sehinga dapat memiliki posisi dihadapan
manusia dan lingkungannya. Perdebatan-perdebatan yang diarahkan pada pemikiran
yang logis atau apapun namanya sering muncul dalam sebuah interaksi social, dan
untuk itu manusia akan membutuhkan argumentasi.
Tulisan
ini ingin mengupas tentang apa dan bagaimana argumentasi itu. Karena tulisan
ini merupakan studi literature dan ditulis dengan sangat singkat tentunya
banyak sekali kekurang-kekurangan di dalamnya, kritik dan saran pembaca sangat
diharapkan oleh penulis.
B.
Pengertian
Menurut Vincent,
dalam bukunya yang berjudul Becoming A
Critical Thinker: A Mater Student texts Argumen diartikan sebagai: “the statement of a point of view and the evidence that
supports it in a way intended to be persuasive to other people.”jadi
argumentasi merupakan suatu pernyataan yang didukung oleh bukti-bukti yang
dapat mengubah atau mempengaruhi pikiran orang lain. Argumen juga dapat
diartikan sebagai
proses untuk memperkuat suatu klaim melalui analisis berpikir kritis
berdasarkan dukungan dengan bukti-bukti dan alasan yang logis. Bukti-bukti ini
dapat mengandung fakta atau kondisi objektif yang dapat diterima sebagai suatu
kebenaran (Inch & Warnick, 2006)
Dari dua pengertian ini, jelaslah bahwa argumentasi itu
adalah suatu pernyataan (klaim) yang bukan semata-mata diucap dengan tanpa
dasar. Argumentasi harus selalu berorientasi pada data, fakta atau bukti-bukti
yang objektif sehingga dapat diterima kebenarannya. Olehkarenanya untuk berargumentasi
seseorang akan melakukan kegiatan analisis dan berpikir kritis. Lebih jauh lagi
argumentasi juga memiliki sifat persuasif atau dapat mengubah mau pun
mempengaruhi pikiran orang lain. Hal ini juga ditegaskan oleh Driver dan
teman-teman, bahwa
argumentasi adalah proses yang digunakan seseorang untuk menganalisis informasi
kemudian dikomunikasikan kepada orang lain. (Driver, Newton, & Osborne.
1998).
Definisi lain dari
istilah argument seperti yang dikutip oleh Fathiaty Murtadho, yakni suatu
kegiatan verbal sosial dan rasional yang bertujuan untuk meyakinkan suatu
kritik yang wajar terhadap penerimaan suatu pandangan dengan mengajukan suatu
konstelasi preposisi yang membenarkan atau membantah preposisi yang dinyatakan
di dalam suatu sudut pandang. Selanjutnya, argumentasi juga merupakan kegiatan
rasional karena pada umumnya argumen didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
intelektual. (Van Eemeren dan Rob.Grootendorst, 2004: 1-2). Menurut Mark
Vorobej, bahwa argumen memuat ungkapan-ungkapan lisan atau tertulis, dan
pernyataan atau presentasi publik yang disampaikan individu pada umumnya
merupakan suatu tindak komunikatif yang terpisah, dengan batasan-batasan
wilayah dan waktu yang ditentukan secara jelas (Mark Vorobej, 2006: 3). Besnard
dan Hunter menyatakan bahwa argumentasi pada umumnya mencakup aktifitas
mengidentifikasi asumsi-asumsi dan simpulan-simpulan yang relevan dari suatu
masalah yang dianalisis. Argumentasi juga mencakup aktifitas mengidentifikasi
konflik yang hasilnya diperlukan untuk mendukung atau menolak
kesimpualan-kesimpulan tertentu. (Philippe Besnard dan Anthony Hunter, 2008: 2-3).
Dalam hal ini, berarti argumentasi adalah suatu kegiatan
yang terkait dengan rasionalisasi ungkapan dan tentunya terkait dengan
pengembangan penalaran atau logika serta intelektualitas. Bentuk argumentasi
ini dapat berupa lisan dapat pula berupa tulisan. Menurut Vincent argumen dapat bervariasi dalam panjang dari satu kalimat
untuk sebuah esai singkat atau bahkan ke 100.000-kata buku. Jenis
yang paling sederhana dari argumen terdiri dari menyatakan
apa yang kita pikirkan dan mengapa kita
berpikir itu. Sedangkan dalam bentuk yang lebih panjang atau
kompleks argumen mengandung jaringan pernyataan atau klaim,
bersama-sama dengan data pendukung
(2009: 187).
C.
Argumen dan Logika
Sebelum membahas dimana hubungan antara argumen dan logika,
sebaiknya kita mengingat kembali tentang posisi logika dalam pengetahuan.
Menurut berbagai sumber, dapat kita pahami bahwa ilmu atau sains bisa disebut
sebagai pengetahuan, namun demikian tidak semua pengetahuan itu bisa disebut
sains. Suatu missal, seseorang mengetahui sebuah mobil, hal ini berarti
belumlah dapat disebut sains. Bisa disebut sains bila orang tersebut mengetahui
secara sistematik dan menyeluruh tentang sebuah mobil tersebut. Oleh karenanya
sains bukanlah semata-mata pengetahuan, namun suatu pengetahuan yang disertai
dengan sebuah metodologis, sistematis, akurat dan lengkap.
Menurut Hamid Fahmy Zarkazy, dalam kaitannya dengan
metodologi, Ilmu dibagi sedikitnya dapat dikelompokan dalam dua jenis, yakni
1) ilmu Alam (natural sciences), dan 2) ilmu
normatif (normative sciences). Ilmu Alam, ruang lingkup pembahasannya
mengarah pada sesuatu sebagaimana adanya (things as they are),
sedangkan ilmu normatif, membahas tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu (things they should be). Dari kedua katagori ini, logika
itu termasuk dalam kategori ilmu normatif, sebab logika mengkaji pemikiran,
tidak sebagaimana adanya, tapi bagaimana seharusnya. Selain logika, dalam ilmu normatif
ini terdapat pula estetika dan etika.
Kita sering
mendengar istilah logika, namun tidak semua orang banyak paham apa itu logika.
Banyak para pakar mengatakan bahwa logika ini merupakan kerangka dari ilmu atau
pengetahuan, tanpa logika mustahil ilmu atau pengetahuan itu dapat berkembang. Menurut
Jan Hendrik Rapar (1996: 10) seperti dikutip oleh Firdaus bahawa Logika adalah
cabang filsafat yang mempelajari, menyusun, mengembangkan, dan membahas
asas-asas, aturan-aturan formal, prosedur serta kriteria yang sahih bagi
penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional; selajutnya masih dalam kutipan Firdaus menurut
Louis O. Kattsoff (1987: 28) logika ialah ilmu pengetahuan mengenai penyimpulan
yang lurus. Ilmu pengetahuan ini mengurai tentang aturan-aturan serta cara-cara
untuk mencapai kesimpulan, setelah didahului oleh seperangkat premis.
Bila kita pahami
bahwa pengertian argumentasi adalah suatu proses untuk menganalisis data, fakta atau bukti-bukti yang objektif sehingga dapat
diterima kebenarannya
dan aktifitasnya meliputi mengidentifikasi asumsi-asumsi hingga kesimpulan-kesimpulan,
maka hal ini tidak jauh berbeda dengan pemahaman kita tentang logika. Sehingga
kalau dapat disimpulkan maka logika itu adalah Ilmu tentang Argumen dan argumen
itu sendiri adalah logika. Walaupun demikian ada perbedaan yang harus
diperhatikan dari keduannya yakni terutama mengenai istilah yang dipergunakan,
seperti yang kekemukakan oleh Gorys Kerap, bahwa dalam argumen partama-tama
lebih menekankan pada istilah salah dan benar. Sebaliknya dalam logika lebih
menggunakan istilah valid (absah) dan invalid (tidak absah). Salanjutnya
ditegaskan pula, bahwa dalam bentuk formal yang
diperlukan untuk menurunkan sebuah kesimpulan dipenuhi, maka silogisme
dinyatakan absah. Bila silogisme itu absah, maka dengan sendirinya kesimpulan
yang diperoleh juga bersifat absah. Dalam argumentasi, yang dijadikan persoalan
adalah apakah semua proposisi bersama itu benar atau tidak. Suatu misal:
Premis mayor: Semua tukang
becak itu adalah pekerja keras.
Premis minor: Edi adalah
seorang tukang becak.
Kesimpulannya: Jadi Edi adalah
pekerja keras.
Dalam bentuk formal, silogisme di atas
dapat bersifat absah. Namun sebagai argumen, silogisme itu tidak meyakinkan,
karena proposi mayornya salah atau diragukan kebenarannya. Akan tetapi, jika
kita bisa menerima proposisi mayornya, maka kesimpulannya dapat bersifat absah.
Oleh sebab itu, dalam bentuk argumen penulis harus yakin bahwa semua premis
mengandung kebenaran, sehingga ia dapat mempengaruhi sikap pembaca. Untuk
membuktikan sesuatu, silogisme bukan saja harus mengandung sebuah struktur yang
absah tetapi juga proposisinya harus mengandung pernyataan-pernyataan yang
benar.
D.
Argumentasi dan
Proses Pembelajaran
Proses
pembelajaran yang dimaksud di sini adalah suatu proses interaksi antara
pendidik, peserta didik, dan sumber belajar di lingkungan belajar yang saling
bertukar informasi. Dalam proses belajar semacam ini tentunya masing-masing
pebelajar mau pun pembelajar berharap mendapat manfaat dari proses belajar
tersebut. Oleh karenanya kemudian tujuan pembelajaran pada akhirnya menjadi
tuntutan utama dalam proses belajar ini.
Tujuan
pembelajaran merupakan arah yang hendak dicapai dari rangkaian aktivitas yang
dilakukan dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran dapat pahami sebagai
bentuk perilaku kompetensi yang spesifik, aktual, dan terukur sesuai dengan
yang diharapkan (terjadi, dimiliki, atau dikuasai) siswa setelah mengikuti
kegiatan pembelajaran tertentu. Menurut Magner
(1962) tujuan pembelajaran adalah
perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh peserta didik sesuai kompetensi; sedangkan Dejnozka dan Kavel (1981) mendefinisikan
tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan spefisik yang dinyatakan dalam bentuk perilaku yang
diwujudkan dalam bentuk tulisan yang menggambarkan
hasil belajar yang diharapkan.
Bila
kita kembali pada pemahaman argumentasi, maka argumentasi adalah suatu kegiatan yang terkait dengan rasionalisasi ungkapan
dan tentunya terkait dengan pengembangan penalaran atau logika serta
intelektualitas.Seperti yang dikutip oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, argumentasi
merupakan proses
yang digunakan seseorang untuk menganalisis informasi kemudian dikomunikasikan
kepada orang lain. Untuk terlibat dalam argumentasi diperlukan keterampilan
penalaran dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dengan lebih baik (Driver,
Newton, & Osborne, 1998; Mortimer & Scott, 2003).
Seperti
dikatakan Marttunen (2005), maka argumentasi dalam proses pembelajaran dapat
membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Berargumentasi
juga akan dapat meningkatkan hasil belajar dan kinerja siswa. Demikian
ditegaskan pula oleh Cross, Hendricks, & Hickey (2008), bahwa belajar
argumentasi dapat memperkokoh pemahaman konsep, memungkinkan siswa mendapatkan
ide-ide baru yang dapat memperluas pengetahuan, dan menghilangkan miskonsepsi
yang dialami siswa. Pada akhirnya dengan argumentasi akan memperoleh suatu landasan kuat dalam memahami
suatu konsep secara utuh dan benar.
E.
Membuat Argumetasi
Dalam
kehidupan nyata, tidak mudah kita mengidentifikasi sebuah argumen. Ini
disebabkan oleh tidak adanya sistem yang mudah, kecuali kita dapat
mengidentifikasi mana yang premis dan mana yang kesimpulan. Selain itu pula, dalam
kehidupan sehari-hari tidak selalu kita temukan argumentasi dalam bentuk yang
baku. Bentuk baku dari argumentasi ini berciri pada adanya premis-premis dan
kesimpulan. Contoh yang paling sederhana dari bentuk baku ini, misalnya:
Premis mayor: Martha adalah putri ibu Harti
Premis minor: Ibu Harti sekeluarga tinggal di jalan
Soetopo
Kesimpulannya: Martha putri ibu Harti tinggal di jalan
Soetopo
Langkah awal yang
harus dipahami oleh seseorang untuk membuat argumen ini, adalah memahami adanya
bentuk baku dari sebuah argumen seperti contoh sederhana tersebut di atas.
Tanpa memahami hal ini maka argumen yang dibuatnya sulit untuk dipahami atau
bahkan akan menjadi fallacy (sesat
pikir).
Menurut M. Guntur
Hamzah, fallacy diartikan sebagai
proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah, dan
menyesatkan. Fallacy merupakan gejala
berpikir yang salah disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa
memperhatikan relevansi. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa kegagalan dalam
membuat argumentasi ini ada 2 (dua) faktor, yakni:
1.
Memuat
premis yang terbentuk dari proposisi yang keliru.
2.
Memuat
premis-premis yang tidak berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari.
Contoh premis yang keliru:
Premis
mayor: Semua manusia yang hidup harus makan nasi
Premis
minor: kehidupan ikan juga
tergantung dari nasi
Kesimpulan:
jadi manusia dan ikan hidupnya tergantung dengan nasi
Contoh premis yang tidak berhubungan:
Premis mayor: Rambut Mirna
lurus berwarna hitam pekat
Premis minor: Pagar rumah Adi
lurus berwarna hitam pekat
Kesimpulan: Jadi rambut
mirna sama dengan pagar rumah Adi
Untuk
memahami sebuah argumen dalam kehidupan nyata tidaklah selalu dihadapkan pada
bentuk-bentuk argumen baku, kadang kita sering menemukan kesulitan untuk
memahami sebuah argumen karena antara premis dan kesimpulan tidak disusun secara
baku. Oleh karenanya, utuk mengatasi kesulitan tersebut pelajarilah sebuah
argumen secara cermat; tulis dan kenali kembali argumen tersebut dalam bentuk
baku bila Anda belum yakin; janganlah berada pada posisi untuk membela siapa
pun. Jeremias Jena mengatakan, bahwa untuk mengidentifikasi sebuah argumen ada
kata-kata yang dapat digunakan sebagai indikator premis dan indkator
kesimpulan. Indikator premis, di antaranya:
Ø
Sejak…
Ø
Pertama,
kedua, dan seterusnya…
Ø
Karena…
Ø
Ini
merupakan implikasi dari…
Ø
Bedasarkan…
Ø
Sebagaimana
ditunjukan…
Ø
Sebagaimana
diindikasikan…
Ø
Dapat
disimpulkan…
Sedangkan indikator kesimpulan dapat
dilihat dari kata-kata sebagai berikut:
Ø
Implikasi
lebih lanjut adalah…
Ø
Kita
dapat menimpulkan bahwa…
Ø
Hal
ini memperlihatkan bahwa…
Ø
Jadi,…
Ø
Dengan
demikian…
Ø
Sesuai
dengan itu…
Ø
Konsekuensinya…
Ø
Maka…
Ø
Karena
itu… dan sebagainya.
Selanjutnya
menurut Gorys Keraf, bila Anda ingin membuat atau menusun sebuah argumen, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:
1.
Penulis
harus mengetahui serba sedikit tentang subjek yang akan dikemukakannya,
sekurang-kurangnya mengenai prinsip-prinsip ilmiahnya. Dengan demikian, penulis
dapat memperdalam masalah dengan penelitian, observasi, dan autoritas untuk
memperkuat data dan informasi yang telah diperolehnya.
2.
Penulis
harus bersedia mempertimbangkan pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat yang
bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Dengan tujuan untuk mengetahui apakah
di antata fakta-fakta yang diajukan lawan ada yang dapat dipergunakannya, atau
justru akan memperlemah pendapat lawan.
3.
Penulis
harus berusaha untuk mengemukakan pokok persoalannya dengan jelas, harus
menjelaskan mengapa ia harus memilih topik tersebut. Sementara itu pula, ia
harus mengemuukakan konsep-konsep dan istilah-istilah yang tepat.
4.
Penulis
harus menyelidiki persyaratan mana yang masih diperlukan bagi tujuan-tujuan
lain yang tercakup dalam persoalan yang dibahas, dan sampai dimana kebenaran
dari pernyataan yang telah dirumuskan itu.
5.
Dari
semua maksud dan tujuan yang terkandung dalam persoalan itu, maksud mana yang
lebih memuaskan penulis untuk menyampaikan masalahya.
Selain hal-hal
tersebut di atas, untuk membatasi persoalan dan menetapkan titik
ketidaksesuaian sebuah argumentasi, Gorys menganjurkan 4 (empat) sasaran yang
harus ditetapkan untuk diamankan oleh setiap penulis, yakni:
1.
Argumentasi
harus mengandung kebenaran untuk merubah sikap dan keyakinan orang mengenai
topic yang akan diargumentasikan.
2.
Penulis
harus berusaha menghindari setiap istilah yang dapat menimbulkan prasangka
tertentu.
3.
Sering
timbul ketidaksepakatan dalam istilah-istilah. Sedangkan tujuan argumentasi
adalah menghilangkan ketidaksepakatan.
4.
Pengarang
harus menetapkan secara tepat titik ketidaksepakatan yang akan
diargumentasikan.
Sebagaimana
layaknya dalam membuat sebuah tulisan, dalam penyajian sebuah argument
sebaiknya harus meliputi 3 (tiga) komponen baku, yakni: pendahuluan, inti, dan
penutup atau kesimpulan. Hal ini ditegaskan pula oleh Gorys, bahwa dalam penulisan
argumentasi harus terdiri dari: pendahuluan, tubuh argumen, serta kesimpulan
dan ringkasan. Selanjutnya gorys menjelaskan:
1. Bagian pendahuluan,
Bagian ini
merupakan bagian yang penting dalam upaya menarik perhatian pembaca, memusatkan
perhatian pembaca kepada argumen-argumen yang akan disampaikan, serta menunjukkan
dasar-dasar mengapa argumentasi itu harus dikemukakan. Sebuah argumentasi itu
harus memancarkan kebenaran atau kekuatan untuk mempengaruhi sikap pembacanya,
oleh karena itu dalam bagian ini tidak boleh dimasukkan hal-hal yang kontroversial.
Untuk menentukan apa dan seberapa panjang bahan yang diperlukan dalam bagian
ini, setidaknya penulis harus mempertimbangkan beberapa hal, yakni: a)
menegaskan mengapa persoalan itu perlu dibicarakan pada saat ini. Bila hal itu
dianggap waktunya lebih tepat untuk di kemukakan, serta dapat dihubungkan dengan
peristiwa-peristiwa lainnya yang mendapat perhatian saat ini, maka
fakta-faktanya akan merupakan suatu titik tolak yang sangat baik; b)
menjelaskan latar belakang sejarah yang mempunyai hubungan langsung dengan
persoalan yang hendak diargumentasikan, sehingga pembaca dapat memperoleh
gambaran yang mendasar mengenai hal yang hendak diargumentasikan; c) harus
membedakan persoalan yang menyangkut selera dan persoalan yang membawa ke
konklusi yang objektif.
2.
Bagian tubuh
argumen,
Pada bagian ini,
pengarang harus terus menerus memposisikan diri di pihak pembaca, dengan
menanyakan apakah evidensi itu sudah dapat diterima bila ia berposisi sebagai
pembaca, apakah evidensi itu sungguh-sungguh mempunyai hubungan dengan pokok
persoalan, apakah tidak ad acara lain yang lebih baik, dan seterusnya. Perlu
ditegaskan, bahwa evidensi itu harusmerupakan suatu proses yang selektif,
dengan menampilkan bahan-bahan terbaik saja dengan enolak evidensi-evidensi
yang kurang baik.
3.
Bagian kesimpulan
dan ringkasan,
Bagian ini tidak
mempersoalkan topik mana yang akan dimukakan dalam argumentasi, yang penting
harus dijaga adalah agar konklusi yang disimpulkan tetap memelihara tujuan yang
ingin disampaikan, dan menyegarkan kembali ingatan pembaca tentang apa yang
telah dicapai, serta kenapa konklusi-konklusi itu dapat diterima sebagai
sesuatu yang logis. Bila dalam tulisan-tulisan biasa, dimana tidak boleh dibuat
kesimpulan, maka dapat dibuat ringkasan dari pokok-pokok yang penting sesuai
dengan urutan argumen-argumen dalam tubuh karangan tersebut.
F.
Mengevaluasi Argumen
Melibatkan diri pada suatu konsep argumentasi atau bahkan
hingga usaha pengembangannya, diperlukan ketrampilan bernalar dan pengetahuan
serta fakta-fakta yang akurat. Hal ini seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa
argumentasi itu adalah sebuah kegiatan yang terkait dengan rasionalisasi
ungkapan, sehingga sangat terkait dengan pengembangan penalaran atau logika serta
intelektualitas. Olehkarenanya, untuk mengetahui kualitas sebuah argument
dibutuhkan suatu analisis yang mengarah pada kualiatas bernalar, pengetahuan,
serta fakata-fakta yang digunakan untuk dasar membuat argumentasi. Eduran (2008)
mengatakan, bahwa argumen yang kuat memiliki banyak pembenaran yang relevan dan
spesifik untuk mendukung kesimpulan dengan bukti-bukti konsep yang akurat.
Adapun ciri-ciri argumentasi yang lemah ditunjukkan dengan tidak adanya
pertimbangan pengetahuan ilmiah, tidak akurat, tidak spesifik, dan tidak tepat. Selanjutnya dikatakan pula,
dalam menilai kualitas suatu argumen dapat dilihat dari dua demensi, yakni
demensi kualitas konseptual dan demensi kualitas epistemologikal. Kualitas
konseptual diukur berdasarkan kemampuan dalam mengartikulasikan klaim kausal
yang spesifik dan dapat memberikan jaminan antara klain dan data yang memadai. Untuk
menilai kualitas epistemologikal, dapat dilukur dari kemampuan menunjukan data
atau fakta sebagai penjamin klain, kemampuan menulis dan penjelasan kausal yang
koheren terhadap fenomena, serta menunjukan berbagai referensi yang tepat
tentang data.
Dalam pandangan
Toulmin, membangun argumen itu adalah membuat sebuah klaim dan mengumpulkan
bukti-bukti yang dapat menyakinkan para pembacanya. Oleh sebab itu setelah
mengumpulkan bukti-bukti atau alasan yang masuk akal untuk mendukung klaim,
sebaiknya kita evaluasi kembali apakah bukti-bukti tersebut sudah benar-benar
mendukung klaim yang kita buat atau dengan kata lain apakah kita yakin bahwa
bukti-bukti tersebut dapat menjamin klaim yang sedang kita perjuangkan. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi ulang pemakaian
bukti-bukti yang kita gunakan untuk membuat sebuah argumen, yakni:
1. Apakah Anda tertekan oleh bukti?
Bukti yang tidak
mendukung argumen Anda harus diperhitungkan, bukannya diabaikan. Pastikan bahwa
Anda tidak mengabaikan bukti-bukti yang menantang atau merusak argumen Anda.
2. Apakah Anda memanipulasi bukti?
Kadang-kadang kita
menggali informasi yang tidak terlalu mendukung pandangan kita. Tetapi kita memerlukan
informasi untuk membuat argumen kita tetap kokoh. Dalam hal ini, janganlah Anda
memanipulasi informasi sesuai dengan tujuan kita sendiri, kecuali Anda mengakui
manipulasi tersebut untuk diserahkan kepada pembaca, dan biarkan dia untuk
menilai apakah manipulasi Anda adalah salah satu yang wajar.
3. Apakah Anda memiliki cukup bukti?
Tinjaulah
pernyataan utama argumen Anda dan mempertimbangkan apakah masing-masing pernyataan
hanya meyakinkan berdasarkan bukti saja. Apakah Anda menemukan diri Anda dengan
mengandalkan retorika Anda sendiri untuk membuat pernyataan tersebut? Jika iya,
mungkin Anda perlu untuk kembali ke sumber-sumber bukti Anda.
4. Apakah Anda memiliki terlalu banyak bukti?
Lihatlah tulisan
Anda, apakah bagian yang Anda kutip melebihi karangan Anda sendiri? Jika
demikian, mungkin argumen Anda telah terkubur di bawah argumen orang lain.
Kemungkinan juga, bahwa pembaca Anda akan sulit menemukan informasi-informasi
yang ada buat. Dia akan kesulitan untuk menemukan argumen Anda yang sebenarnya
dalam tulisan Anda.
5. Apakah bukti Anda masih berlaku dan dapat dapat
dipercaya?
Ini tidak berarti
Anda tidak dapat menggunakan sumber yang sudah lama. Pertanyaan ini bermaksud
menghindarkan Anda dari resiko yang disebabkan oleh penggunaan bukti yang
nantinya dapat melemahkan perspektif Anda sendiri. Selain itu, Anda juga perlu
memastikan bahwa sumber Anda benar-benar dapat dipercaya.
6. Apakah bukti Anda cukup kuat untuk menjamin klaim
Anda?
Pertimbangkan
baik-baik, mengapa Anda percaya bahwa bukti Anda sudah cukup kuat. Apakah
bukti-bukti tersebut berdasarkan penelitian yang Anda lakukan? Berdasarkan
keahlian Anda dalam bidang tersebut? Ataukah asumsi dan kepercayaan umum? Jika
bukti itu berdasar pada alasan asumsi dan kepercayaan umum, maka Anda perlu
memeriksa kembali asumsi tersebut.
Kiranya mengevaluasi argument
merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan, agar argument yang kita buat
tidak menjadi argumen yang tidak menyakinkan atau bahkan menyesatkan. Vincent dalam bukunya yang berjudul Becoming A Critical Thinker: A Mater Student
texts. Mengemukakan pendapatnya tentang langkah-langkah
strategis untuk menevaluasi argumen. Langkah strategis ini ditujukan agar sebuah argument itu dapat
dibuktikan lebih masuk akal dari pada hanya sebagai argumen yang mengarah pada
bentuk persaingan. Ada
lima langkah startegi untuk mengevaluasi argumen yang kompleks, yakni:
Langkah 1:
Identifikasi fakta dan opini,
Langkah awal yang harus dilakukan adalah memahami tentang
fakta dan opini yang tersurat dalam sebuah argumen. Menyaring pendapat sentral
untuk memahami pandangan penulis terhadap masalah yang ingin disampaikan kepada
pembacanya. Biasanya pendapat sentral ini dinyatakan dalam atau setelah
pendahuluan dan diperkuat dalam kesimpulan. Mencatat bukti (informasi factual)
yang ditawarkan. Selanjutnya mengetahui hubungan mendasar antar bagian dari
sebuah argumen dapat membantu mengidentifikasi pendapat dan bukti pendukung
yang lebih efektif dan akurat. Mengetahui hubungan mendasar antara
bagian-bagian dari sebuah argumen dapat membantu Anda mengidentifikasi pendapat
dan bukti pendukung yang lebih efektif. Meringkas pendapat utama yang
ditawarkan dengan cara: 1) ditulis sebanyak-banyaknya dengan menggunakan
kata-kata sendiri, 2) mencatat bagian yang inti dari argument, pendapat primer
dan sekunder, serta catatan singkat tentang bukti yang digunakannya, 3) jika
ingin menambahkan komentar sendiri tempatkan pada kode tanda kurung sehingga
dapat dibedakan antara komentar anda dengan ide-ide penulis.
Langkah 2: Periksa
fakta dan uji pendapat,
Langkah ini hanya dilakukan pada catatan atau ringkasan yang
telah Anda buat. Mulailah dengan memeriksa fakta laporan utama untuk diverifikasikan
bahwa hal ini benar-benar faktual. Selanjutnya, uji
pendapat primer dan sekunder penulis, dengan menggunakan satu atau lebih pendekatan berikut ini:
1) Konsultasikan pengalaman sehari-hari.
2) Pertimbangkan pendapat itu dengan kemungkinan
konsekuensinya.
3) Pertimbangkan implikasinya.
4) Pikirkan pengecualian.
5) Pikirkan tandingan.
6) Terbalik pendapat.
7) Carilah penelitian yang relevan.
Pendekatan ini untuk memeriksa fakta dan menguji pendapat yang dapat untuk menunjukkan kekuatan dan kelemahan dari argumen yang sederhana; namun,
untuk argumen yang lebih kompleks biasanya memerlukan riset
tambahan.
Langkah 3: Melakukan
penelitian,
Tujuan utama
melakukan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pendapat
dan interpretasi fakta-fakta yang berbeda dari hasil analisa yang ada dalam argumen Anda. Pendapat dan
interpretasi tersebut mungkin belum diperkuat oleh buku-buku referensi. Dalam
proses ini diharapkan adanya usaha berpikir kritis untuk menyangkal wawasan
anda sendiri. Melakukan kajian terhahap berbagai sumber sangat diperlukan untuk
menganalisis argumen Anda.
Langkah 4: Evaluasi
bukti,
Pada tahap ini,
Anda telah banyak mengumpulkan sebagian besar materi yang mungkin perlu untuk
dipilah-pilahkan mana yang sesuai (sepakat) atau mana yang tidak sesuai (tidak
sepakat). Cara yang baik untuk melakukan ini adalah dengan membuat spreadsheet. Setelah itu tinjau kembali spreadsheet yang telah diberikan kepada
orang untuk memberikan pandangannya baik secara kuantitas maupun kualitas.
Kemudian buatlah review terhadap bukti-bukti yang sudah terakumulasi dalam
penelitian Anda.
Langkah 5: Membuat keputusan
Anda,
Setelah mengevaluasi berbagai aspek masalah, Anda akan siap
untuk menggabungkan hasil evaluasi tersebut menjadi evaluasi masalah yang menyeluruh.
Di sini Anda sudah dapat membuat keputusan walau mungkin keputusan tersebut
kadang tidak disepakati oleh sebagian kecil kelompok, namun hal ini tetap
dianggap menjadi keputusan yang jauh lebih baik.
G.
Penutup
Argumen bukanlah sebuah perdebatan yang ingin menjatuhkan
lawan dengan cara yang kurang nalar, namun argumen harus dipandang sebagai hal
yang sangat penting terkait dengan suatu pengembangan logika. Argumen dan
logika adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Argmen itu
adalah logika dan logika itu merupakan ilmu tentang argumen. Belajar menyusun
argumentasi sangat diperlukan dalam proses pebelajaran, hal ini akan membantu
siswa dalam meningkatkan ketrampian berpikir kritis yang pada akhirnya akan
dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Untuk membuat argumentasi setidaknya
dibutuhan pemahaman dasar tentang bentuk baku, sehingga dalam pengembangannya
tidak akan terjadi kesalahan atau fallacy.
Terkait dengan kualitas sebuah argument, diperlukan evaluasi yang terukur dan
sistematis. Untuk mengevaluasi kualitas argumenttasi dapat diukur dari sisi
konsep dan epistemologis. fakta atau bukti-bukti argument harus juga disajikan
setelah dievaluasi keberadaannya, selanjutnya dibutuhkan sebuah prosedur untuk
mengevaluasi argument agar didapatkan hasil yang lebih efisien dan akurat.
Akhirnya mudah-mudahan tulisan yang sangat sederhana ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembaca, diucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu, mohon maaf bila ada hal yang kurang berkenan.
DAFTAR PUSTAKA
Fathiaty Murtadho.
2013. Berpikir Kritis dan Strategi Metakognisi:
Alternatif Sarana Pengoptimalan Latihan Menulis Argumentasi. 2nd
International Seminar on Quality and Affordable Education (ISQAE 2013)
Gorys Keraf. Bab ‘Penalaran’ Argumentasi dan Narasi
Karangan. Diposting oleh hitamat pada tanggal 25-03-2013. alamat: https//hitamart.wordpress.com/ 2012/03/25/bab-penalaran-argumentasi-dan-narasi-karangan-gorys-keraf/
Hamid Fahmy
Zarkasyi. Arti Berpikir Logis dan
Argumentatif. http://choirul-alquds.blogspot.com/2011/08/arti-berfikir-logis-dan-argumentatif.html
http://dausmaczman.blogspot.com/2013/12/konsep-dasar-logika_25.html
Toulmin. Logic and
Argument. Nama situs: Dartmouth. Alamat: http://writing-speech.dartmouth.edu/learning/materials-first-year-writers/logic-and-argument#Toulmin
vincent Ryan
Ruggiero. 2009. Becoming a Critical
Thinker. Bostom:Houghton Mifflin Company.
Sabtu, 21 Februari 2015
KEBIJAKAN HUMAN TRAFFICKING DI INDONESIA
Oleh:
Peni Puspito
A.
Pendahuluan
Human Trafficking atau yang sering disebut dengan
penjualan manusia di Indonesia pada akhir-akhir ini marak diperbincangkan di media massa,
walau sesungguhnya pada jaman feodal maupun penjajahan hal ini bukanlah menjadi
isu yang dianggap penting dalam kehidupan bangsa. Pada jaman budaya feodal
masih berkembang, banyak sekali para penguasa menggunakan kekuatannya untuk
memiliki istri tidak hanya satu. Bahkan mereka sangat leluasa mempermainkan
kehidupan wanita atau semua manusia yang hidup dalam wilayah kekuasaannya.
Demikian pula pada masa pendudukan Jepang (1941-1945),
komersialisasi seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi dan
perempuan Belanda menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa
dari Singapura, Malaysia dan Hong Kong untuk melayani para perwira tinggi
Jepang (Hull, Sulistyaningsih dan Jones 1997).
Di
Indonesia saat ini masalah perdagangan orang masih menjadi salah satu ancaman
besar dimana setiap tahun hampir ribuan perempuan dan anak yang harus menjadi
korban trafficking. Seperti berita terbaru dari
republika.co.id, batam pada tanggal 11 Desember 2014 tentang human trafficking
ini, telah mengunggah berita bahwa Malaysia akan mendeportasi sebanyak 13 (tiga
belas) perempuan korban perdagangan manusia. Ke-13 (tiga belas)
korban tersebut terdiri dari 4 (empat) balita dan 8 (delapan) orang dewasa
pekerja imigran bermasalah, yang memasuki wilayah Negara Malaysia tanpa
disertai dengan dokumen lengkap. Perempuan-perempuan tersebut awalnya
dimaksudkan untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial di tempat-tempat
hiburan di Malaysia. Belum lagi bila kita saksikan di sudut-sudut perempatan jalan, masih
banyak sekali anak-anak yang seharusnya dapat menikmati hidupnya dengan
bermain, belajar, berkumpul teman dan saudaranya; namun mereka terpaksa harus
menjual koran, atau bahkan meminta-minta sedekah dengan cara melantumkan lagu (ngamen).
Melihat maraknya isu human trafficking, sebenarnya pemerintah
telah banyak mengeluarkan produk-produk aturan sebagai bentuk kebijakan untuk
memperkecil atau memepersepit peluang terjadinya human trafficking ini. Walaupun produk-produk aturan tersebut telah
lahir, kenyataannya bahwa human
trafficking masih saja marak terjadi di Negeri ini; lalu mengapa hal
tersebut sangat sulit hilang dari peradaban ini; Sejauh mana kemudian
peraturan-peraturan tersebut efektif dan mampu membuat jera para pelakunya?
Apakah setelah ada produk kebijakan baik yang berupa undang-undang ataupu
peraturan dapat menghentikan permasalahan human
trafficking?
Dalam tulisan ini ingin mencoba menelaah
bagaimana bentuk human trafficking,
konsep, serta implemetasi kebijakannya di Indonesia.
B. Human
Trafficking di Indonesia
1. Pengertian
Definisi human
trafficking mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to
Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and
Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational
Organized Crime tahun 2000.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan human
trafficking atau perdagangan manusia, yakni: “...the recruitment, transportation, transfer,
harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or
other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of
power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of
payments or benefits to achieve the consent of a person having control over
another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include,
at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of
sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to
slavery, servitude or the removal of organs.”, yang artinya:... perekrutan, pengiriman, pemindahan,
penampungan atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan
lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau kecurangan, atau penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, ataupun menerima/memberi bayaran, atau manfaat
untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat
prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan
paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau
pengambilan organ-organ tubuh.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pengertian human trafficking,
adalah sebagai berikut:
a. Mencakup
kegiatan pengiriman tenaga kerja, yaitu kegiatan memindahkan atau mengeluarkan
seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya atau keluarganya. Tetapi pengiriman
tenaga kerja yang dimaksud tidak harus atau tidak selalu berarti pengiriman ke
luar negeri.
b. Meskipun
trafficking dilakukan atas izin
tenaga kerja yang bersangkutan, izin tersebut sama sekali tidak menjadi relevan
(tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan trafficking tersebut)
apabila terjadi penyalahgunaan atau korban berada dalam posisi tidak berdaya.
Misalnya karena terjerat hutang, terdesak oleh kebutuhan ekonomi, dibuat
percaya bahwa dirinya tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, ditipu, atau
diperdaya.
c. Trafficking mempunyai tujuan eksploitasi,
terutama tenaga kerja (dengan menguras habis tenaga yang dipekerjakan) dan
eksploitasi seksual (dengan memanfaatkan kemudaan, kemolekan tubuh, serta daya
tarik seks yang dimiliki tenaga kerja yang yang bersangkutan dalam transaksi
seks).
Di
Indonesia pengertian human trafficking atau perdagangan manusia (perempuan
dan anak) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 88
Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan
Anak, yang menyatakan
bahwa: “Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu
atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara,
pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di
tempat tujuan – perempuan dan anak - dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan
verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi
kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi,
ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima
pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan
pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili),
buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin
pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat
terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.
2. Faktor Penyebab Human Trafficking
Dalam penelitian ILO-IPEC pada tahun
2003 di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jakarta, dan Jawa Barat
menyimpulkan bahwa trafficking di
Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks karena juga diperluas oleh
faktor ekonomi dan sosial budaya. Beberapa hal yang menjadi penyebab, antara lain:
a.
Kualitas Hidup
Kualitas hidup miskin di daerah
pedesaan dan desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik membuat anak dan
orang tua rentan dieksplotasi oleh para pelaku trafficking. Di samping
diskriminasi terhadap anak perempuan, seperti kawin muda, nilai keperawanan,
pandangan anak gadis tidak perlu pendidikan tinggi menjadi kunci faktor
pendorong. Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi
penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena
jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang.
Selain itu kurangnya pendidikan juga mempengaruhi. Orang dengan pendidikan yang
terbatas memiliki lebih sedikit keahlian atau skill, kesempatan kerja, dan mereka
lebih mudah diperdagangkan karena dengan bermigrasi mencari pekerjaan yang
tidak membutuhkan keahlian.
b.
Perilaku Konsumtif.
Perilaku
gaya hidup yang konsumtif, merupakan fakto ynag paling sering ditemukan.ng konsumtif.
Orang cenderung menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhannya. Terlebih
untuk kalangan remaja gaya hidup yang bermula di lingkungan sekolah atau
dirumah dapat menyebabkan perilaku-perilaku konsumtif yang pastinya mengarah
pada hal-hal yang negatif. Bila seseorang tidak bisa mengimbangi
gaya hidup, maka akan diikuti dengan faktor kejahatan. Selain itu, orang tua
jadi faktor yang mendorong pelaku. Gaya hidup yang konsumtif mendominasi
masyarakat belakangan ini. Yang memprihatinkan, gara-gara ekonomi yang lemah
dan tuntutan gaya hidup tinggi, menjadi faktor mendasar trafficking.Seharusnya
remaja dan masyarakat umum harus mampu mengendalikan diri untuk mengurangi gaya
hidup yang konsumtif. Maraknya kasus trafiking yang menimpa anak-anak remaja,
yang dijadikan pekerja seks komersial, kadang dilatarbelakangi keinginan korban
untuk memebuhi kebutuhan hidup, seperti HP yang keren, baju yang bagus, bahkan
uang untuk berfoya-foya.
c.
Faktor Budaya
Masyarakat
1)
Peran perempuan
dalam keluarga, meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat
perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan
seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga.
Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk
bekerja agar dapat membantu keluarga mereka.
2)
Peran anak
dalam keluarga, kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk
membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap praktek trafficking.
3)
Perkawinan dini, perkawinan
dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya
kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan
perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan
yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan
terhadap praktek trafficking hal ini disebabkan kerapuhan ekonomi mereka.
4)
Jeratan hutang, praktek
menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi
penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang
ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap
kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.
5)
Kurangnya
pencatatan kelahiran, orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi
mangsa trafficking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi.
Anak-anak yang perdagangkan, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa
manapun yang memintanya.
6)
Korupsi dan
lemahnya penegakan hukum,
pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku
trafficking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal.
Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak
benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat
buruh migran lebih rentan terhadap trafficking karena migrasi ilegal. Kurangnya
anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafficking menghalangi
kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut
pelaku trafficking.
d. Media massa
Media massa masih belum memberikan
perhatian yang penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang trafficking dan belum memberikan
kontribusi yang optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan
tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis
yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking
dan kejahatan susila lainnya.
Sesungguhnya tidak ada satu pun yang
merupakan penyebab khusus terjadinya human trafficking di Indonesia. Humana trafficking dapat disebabkan oleh keseluruhan hal yang
terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda seperti
yang telah diuraikan di atas.
3. Bentuk-Bentuk Trafficking
Ada
beberapa jenis atau bentuk human trafficking
(perdagangan manusia) yang terjadi pada perempuan dan anak-anak, di antaranya:
a. Kerja
Paksa Seks dan Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di wilayah
Indonesia.
b.
Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar
ataupun di wilayah Indonesia.
c. Bentuk
Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah Indonesia.
d. Penari,
Penghibur dan Pertukaran Budaya terutama di luar negeri.
e.
Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri.
f.
Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak,
terutama di Indonesia.
g.
Trafficking/penjualan
Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia.
Adapun
sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan dan anak-anak, di
antaranya:
a.
Anak-anak jalanan.
b.
Orang yang sedang mencari pekerjaan dan
tidak mempunyai pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan
dipilih.
c.
Perempuan dan anak di daerah konflik dan
yang menjadi pengungsi.
d.
Perempuan dan anak miskin di kota atau
pedesaan.
e.
Perempuan dan anak yang berada di wilayah
perbatasan anatar Negara.
f.
Perempuan dan anak yang keluarganya
terjerat hutang.
g.
Perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga, korban pemerkosaan
4. Rentan
Terjadinya Human Trafficking.
Perdagangan orang dapat mengambil
korban dari siapapun: orang-orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun
perempuan yang pada umumnya berada dalam kondisi rentan, seperti misalnya:
laki-laki, perempuan dan anak-anak dari keluarga miskin yang berasal dari
pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; mereka yang berpendidikan dan
berpengetahuan terbatas; yang terlibat masalah ekonomi, politik dan sosial yang
serius; anggota keluarga yang menghadapi krisis ekonomi seperti hilangnya
pendapatan suami/orang tua, suami/orang tua sakit keras, atau meninggal dunia;
anak-anak putus sekolah; korban kekerasan fisik, psikis, seksual; para pencari
kerja (termasuk buruh migran); perempuan dan anak jalanan; korban penculikan;
janda cerai akibat pernikahan dini; mereka yang mendapat tekanan dari orang tua
atau lingkungannya untuk bekerja; bahkan pekerja seks yang menganggap bahwa
bekerja di luar negeri menjanjikan pendapatan lebih.
Modus operandi rekrutmen terhadap
kelompok rentan tersebut biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai
kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam,
menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari,
menculik, menyekap, atau memperkosa. Modus lain berkedok mencari tenaga kerja
untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri
dengan upah besar. Ibu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau
membesarkan anak dibujuk dengan jeratan utang supaya anaknya boleh diadopsi
agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan.
Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan
memberikan barang-barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.
Memalsu identitas banyak dilakukan
terutama untuk perdagangan orang ke luar negeri. RT/RW, Kelurahan dan Kecamatan
dapat terlibat pemalsuan KTP atau Akte Kelahiran, karena adanya syarat umur
tertentu yang dituntut oleh agen untuk pengurusan dokumen (paspor). Dalam
pemrosesannya, juga melibatkan dinas-dinas yang tidak cermat meneliti
kesesuaian identitas dengan subjeknya.
Korban yang direkrut di bawa ke tempat
transit atau ke tempat tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan
pesawat terbang, kapal atau mobil tergantung pada tujuannya. Biasanya agen atau
calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan. Untuk ke luar negeri,
mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen dipegang oleh agen
termasuk dalam penanganan masalah keuangan. Seringkali
perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan yang ditempuh
sangat jauh sehingga sulit untuk kembali. Bila muncul keinginan korban untuk
kembali pulang, mereka ditakut-takuti atau diancam.
5.
Cara untuk
menghapuskan Human Trafficking
Untuk
menghapus perdagangan manusia ini sangatlah sulit, atau bahkan dapat dikata
tidak mungkin bahwa human trafficking
ini bisa hilang sama sekali. Namun demikian bukan berarti hal ini harus
dibiarkan tumbuh berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa cara
untuk memimalisir atau mencegah tumbuhkembangnya traffickinig ini, di antaranya:
a.
Hukuman, sebaiknya
peraturan pemerintah baik berupa undang-undang, Perpres ataupun perda
memberikan sanksi yang berat dan tegas kepada para pelaku Human Traficking terutama
para sindikat/bos/pelaku utama. Dalam pelaksanaannya hukuman yang diberikan
tidak boleh tebang pilih dan memberikan efek jera kepada para pelaku. Aturan
yang sudah ada harus benar-benar dilaksanakan jangan hanya dijadikan aturan
tanpa ada realisasinya.
b. Kerjasama
Penindakan Hukum, perdagangan orang menjadi ancaman bagi keamanan dalam
negeri karena telah menjadi sumber penghasilan yang sangat besar bagi sindikat
kejahatan internasional. Sebagai bagian dari transnational organized crime,
perdagangan orang tidak dapat diperangi secara partial atau secara
sendiri-sendiri oleh masing-masing negara. Negara- negara yang anti perbudakan
dan berniat melindungi kehidupan warganegaranya harus bersatu padu bekerjasama
memerangi perdagangan orang. Kerjasama antar Pemerintah (G-to-G) antar LSM,
organisasi masyarakat dan perseorangan dalam dan luar negeri harus dibina dan
dikembangkan sehingga terbentuk kekuatan yang mampu memberantas kejahatan
teroganisir tersebut. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama semua pihak baik
di dalam negeri maupun luar negeri untuk menghapuskan Human Trafficking ini.
c. Pengawasan Lalu-lintas Lintas Batas, Negara Kesatuan
Republik Indonesia mempunyai wilayah yang luasnya 5.193.252 km2 terdiri dari
sebagian besar lautan dan hanya 36,6 % berupa daratan. Daratan yang ada
merupakan rangkaian dari 17.000 pulau-pulau seluas total 1.904.443 km2 sehingga
batas-batas antar wilayah kabupaten/kota dan propinsi di dalam negeri, maupun
dengan negara tetangga menjadi sangat “porous”, mudah ditembus dengan berbagai
cara. Perbatasan antara propinsi-propinsi di Pulau Sumatera dengan Singapura
dan dengan Semenanjung Malaysia yang melalui laut, sangat mudah ditembus.
Demikian pula perbatasan antara propinsi di Kalimantan dengan Malaysia Timur
(Serawak dan Sabah) sangat mudah dilewati melalui “jalan-jalan tikus” dari
Kalimantan Barat menuju Kuching, Serawak atau dari Kalimantan Timur menuju
Tawau, Sabah. Demikian pula yang terjadi di perbatasan antara Papua dengan
Papua New Guinea. Oleh karena itu perlu ditingkat pengawasan lalu lintas lintas
batas antar negara.
d. Perlindungan Korban, perlindungan
korban perdagangan orang meliputi kegiatan: penampungan dalam tempat yang aman,
pemulangan (ke daerah asalnya atau ke dalam negeri) termasuk upaya pemberian
bantuan hukum dan pendampingan, rehabilitasi (pemulihan kesehatan fisik,
psikis), reintegrasi (penyatuan kembali ke keluarganya atau ke lingkungan
masyarakatnya) dan upaya pemberdayaan (ekonomi, pendidikan) agar korban tidak
terjebak kembali dalam perdagangan orang.
C.
Dasar-dasar Kebijakan Human
Trafficking di Indonesia
1. Pengaturan
Hukum Internasional Mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
Ada
empat perjanjian internasional pendahulu yang terkait dengan human trafficiking ini, yaitu :
a. Persetujuan
Internasional tanggal 18 Mei 1904 untuk penghapusan perdagangan budak kulit
putih (International Agreement for the Suppression of White Slave
Traffic). Dokumen ini diamandemen dengan protokol PBB pada
tanggal 3 Desember 1948.
b. Konvensi
Internasinal tanggal 4 Mei 1910 untuk penghapusan perdagangan budak kulit putih
(International Convention for the Suppression of White Slave
Traffic), diamandemen dengan protokol tersebut di atas.
c. Konvensi
Internasional tanggal 30 September 1921 untuk penghapusan perdagangan perempuan
dan anak (Convention of on the Suppression of Traffic in Women and
Children), diamandemen dengan protokol PBB tanggal 20
Oktober 1947.
d. Konvensi
Internasional tanggal 22 Oktober 1933 untuk penghapusan perdagangan perempuan
dewasa (International Convention of the Suppression of the Traffic
in Women of Full Age), diamandemen dengan protokol PBB tersebut di
atas.
Adapun larangan human
trafficking secara internasional telah banyak
instrumen yang mengaturnya, terdapat berbagai instrumen internasional yang
berkaitan dengan masalah human trafficking. Instrumen – instrumen yang dimaksud
yaitu antara lain :
1) Universal
Declaratin of Human Rights ;
2) International
Covenant on Civil and Political Rights;
3) International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights;
4) Convention
on the Rights of the Child and its Relevant Optional Protocol;
5)
Convention Concerning the Prohibiton
and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forums of Child Labour (
ILO No. 182 );
6)
Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Againts Women;
7)
United Nations protokol to Suppress,
Prevent, and Punish Trafficking in Against Transnational Organized Crime;
8)
SARC Convention on Combating
Trafficking in Women and Children for Prostitusion.
2.
Pengaturan Hukum Nasional Tentang
Human Trafficking
Ada
beberapa Hukum yang terkait dengan human
trafficking di Indonesia, di antaranya:
a.
Undang–Undang Dasar RI 1945
b.
Tap MPR XVII Tentang Hak Asasi
Manusia (HAM)
c.
Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia
d.
Undang–Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
e.
Konvensi Hak Anak
f.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang
Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP)
g.
Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
h.
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Perdangangan Orang (Human Trafficking)
Perempuan dan Anak
3.
Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Menangani Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking)
Adapun pembangunan hukum atau pembaruan
hukum memiliki hubungan yang sangat kuat dengan politik, oleh karena suatu
pembaruan hukum yang diawali dari pembuatan sampai pelembagaanya dilaksanakan
oleh lembaga politik, yang merupakan lembaga yang memiliki kekuatan dalam
masyarakat. Suatu proses pembentukan peraturan perundang- undangan dilaksanakan
melalui kebijakan formulasi/legislatif, sedangkan proses penegakan hukum atau
pelembagaan dilakukan melalui kebijakan aplikasi/yudikasi dan proses
pelaksanaan pidana dilakukan dengan kebijakan eksekusi/administrasi. Ketiga
tahapan kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam pencegahan tindak pidana
perdagangan orang adalah sebagai berikut:
a)
Kebijakan Formulasi/Legislasi.
Kebijakan formulasi/legislasi adalah proses
pembuatan peraturan perundan–undangan yang dilakukan oleh pembuat undang–undang
(pemerintah bersama–sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat). Kedua badan/institusi
inilah yang berwenang membuat peraturan hukum, yaitu melalui proses mewujudkan
harapan hukum dalam realita.
Dalam hal tindak pidana perdagangan orang,
sekarang ini sudah dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan norma
hukum dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu sudah sepantasnya Pasal 297
Kitab Undang–Undang Hukum Pidana harus ditinjau kembali dan diperbaharui dengan
aturan yang mengarah pada nilai–nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia, dan
masyarakat internasional. Perdagangan orang yang dianggap sebagai pelanggaran
harkat dan martabat manusia, sudah selayaknya mendapatkan tempat tersendiri
dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Atas dasar itu dengan dilandasi
penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, pemerintah
Indonesia mengundangkan Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
b) Kebijakan
Aplikasi/Yudikasi
Kebijakan aplikasi yaitu tahap penerapan
hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan. Tahapan ini dinamakan juga tahapan yudikasi. Kebijakan
aplikasi/yudikasi tidak terlepas dari sistem peradilan pidana (criminal
justice system), yaitu suatu upaya masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan/tindak pidana. Kebijakan aplikasi/yudikasi berhubungan
dengan proses penegak hukum dan bekerjanya hukum dalam masyarakat. Oleh karena
itu, dalam mewujudkan criminal justice system,
aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) harus dapat berkoordinasi dengan
baik dalam melaksanakan tugas, selaras dan berwibawa, atau harus mengacu pada
managemen criminal justice system.
Di dalam pengaturan hukum pidana di
Indonesia, tindak pidana perdagangan orang awalnya telah diatur dalam Pasal 297
Kitab Undang–Undang Hukum Pidana. Dalam Pasal 297 Kitab Undang–Undang Hukum
Pidana, perbuatan yang dilarang adalah melakukan perdagangan perempuan dan anak
laki–laki dibawah umur.
Pengaturan larangan untuk melakukan tindak
pidana perdagangan orang di dalam Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, diatur dalam pasal 2, yang
berbunyi :
“(1)
Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara
Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).”
Apabila Pasal 297 Kitab Undang–Undang
Hukum Pidana dibandingkan dengan Pasal 2 Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka terlihat jelas
bahwa kedua pasal berbeda dalam ruang lingkup dan pengenaan sanksi pidananya.
c) Kebijakan Eksekusi/Administrasi.
Kebijakan eksekusi adalah kebijakan hukum
dalam tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat–aparat
pelaksana pidana, dan tahap ini disebut juga tahap administrasi. Aparat
pelaksana pidana dilakukan oleh Petugas Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), bagi
mereka yang telah dijatuhi hukuman (punishment)
oleh Hakim.
Petugas Lembaga Pemasyarakatan adalah
pegawai yang melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik
pemasyarakatan, dimana para narapidana tersebut sudah diputus oleh pengadilan
dan dinyatakan bersalah maupun masih dalam tahapan upaya hukum.
Dalam bagian ini
hakim dalam melakukan penerapan hukuman, dapat berupa suatu pemberian
sanksi yakni misalnya sanksi pidana (penal)
dan sanksi administrasi (non penal).
Kepada pemberian sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang, hakim
dapat menjurus kepada konsep hukum
pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja, yaitu bersumber pada undang–undang,
yurisprudensi, atau gabungan antara undang – undang dan yurisprudensi.
Apabila pelaku pelaku tindak pidana perdagangan
orang akan dikenakan sanksi sesuai konsep hukum pembangunan, dapat merujuk pada
Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007, atau pada yurisprudensi. Namun dalam sistem
hukum di Indonesia, proses penegakan hukum lebih mengacu kepada asas legalitas,
yaitu berdasarkan peraturan hukum tertulis (undang–undang). Demikian juga hakim
di Indonesia, lebih sering menjatuhkan sanksi sesuai dengan aturan dalam
Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
D.
Pembahasan
1.
Pencegahan dan Penanggulangan Human
Trafficking
Human
Trafficking, khususnya bagi perempuan sebagai salah
satu bentuk tindak kejahatan yang sangat kompleks, tentunya memerlukan upaya
penanganan yang bersifat komprehensif
dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan profesionalitas semata,
namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik
sesama aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan
pihak-pihak lain yang terkait yakni lembaga pemerintah (kementerian terkait)
dan lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak
bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan
masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga
penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi
upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal
ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas perlindungan
dalam hukum.
Dalam konteks penyidikan dan penuntutan,
aparat penegak hukum dapat memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama
aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah negara, untuk bertukar
informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan aparat penegak
hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan
melalui mutual legal assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan
perempuan lintas negara.
Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan
ILO, dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention of Child Trafficking for Labor
and Sexual Exploitation. Tujuan dari program ini adalah:
a. Memperbaiki
kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atas
untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan,
b. Mendukung
keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus sekolah
dasar,
c. Menyediakan
pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan,
d. Menyediakan
pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha
sendiri,
e. Merubah
sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak.
2. Hambatan
Pemberantasan Trafficking
Dalam beberapa tahun
terakhir ini, pihak yang berwajib memang telah banyak melakukan tindakan hukum
kepada para trafficker dan memproses
mereka secara hukum serta mengajukannya kepengadilan. namun pihak kepolisian,
kejaksaan, pengacara dan pengamat yang peduli terhadap masalah perdagangan
orang sering mengeluhkan dengan adanya kendala di bidang perundang-undangan
yang menyebabkan hukum yang diberlakukan kepada trafficker tidak cukup berat dan tidak menimbulkan efek jera bagi
mereka. Memang ada beberapa pasal dalam KUHP yang dapat digunakan untuk
menjerat sebagian perbuatan trafficking;
namun demikian, KUHP itu masih memiliki kelemahan, diantara KUHP yang secara
khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur.
Sementara terhadap korban orang dewasa seperti tenaga kerja Indonesia, tidak
masuk dalam korban yang dilindungi oleh KUHP.
Kelemahan lainnya lagi
dari KUHP ini adalah, hanya membatasi ruang lingkup pada ekploitasi seksual,
padahal ada bentuk-bentuk eksploitasi lain yang menjadikan korbannya sebagai
tenaga kerja, pembantu rumah tangga, bahkan untuk adopsi illegal anak dan bayi.
Hal lain yang masih terkait dengan KUHP ini adalah, tentang batas usia di bawah
umur tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia di
bawah umur ataupun usia dewasa. Sementara itu, UU perlindungan anak juga tidak
cukup kuat untuk melindungi anak sebagai korban perdagangan orang.
Pada prinsipnya, secara umum upaya
penanggulangan perdagangan manusia ini, khususnya perdagangan perempuan dan
anak dapat dibagi atas 3 (tiga) kunci utama, yakni:
a.
Budaya masyarakat (culture)
Anggapan bahwa jangan terlibat dengan
masalah orang lain terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan
merugikan diri sendiri, anggapan tidak usah melaporkan masalah yang dialami,
dan lain sebagainya. Stereotipe yang
ada di masyarkat tersebut masih mempengaruhi cara berpikir masyarakat
dalam melihat persoalan kekerasan perempuan khususnya kekerasan yang dialami
korban perdagangan perempuan dan anak.
b.
Kebijakan pemerintah khususnya
peraturan perundang-undangan (legal substance)
Belum adanya regulasi yang khusus (UU anti
trafficking) mengenai perdagangan
perempuan dan anak selain dari Keppres No. 88 Tahun 2002 mengenai RAN
penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Ditambah lagi dengan masih
kurangnya pemahaman tentang perdagangan itu sendiri dan kurangnya sosialisasi
RAN anti trafficking tersebut.
c.
Aparat penegak hukum (legal
structure)
Keterbatasan peraturan yang ada (KUHP)
dalam menindak pelaku perdagangan perempuan dan anak berdampak pada penegakan
hukum bagi korban. Penyelesaian beberapa kasus mengalami kesulitan karena
seluruh proses perdagangan dari perekrutan hingga korban bekerja dilihat
sebagai proses kriminalisasi biasa.
3.
Alternatif Solusi Sebagai
Pertimbangan Penyusunan Kebijakan Khusus:
Solusi pemecahan
masalah trafficiking ini tidak hanya
bisa dilakukan oleh perorangan atau perkelompok, namun dibutuhkan kesadaran dan
kerjasama yang kuat di antara semua pihak baik perorangan, kelompok di tingkat lokal,
nasional, maupun internasional. Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya human trafficiking dan sekaligus kemungkinan menjadi pertimbangan
dalam menyusun kebijakan khusus dalam rangkan munculnya isu-isu baru yang tidak
dapat diakomodasi oleh hokum yang ada, di anataranya:
a. Pada
tingkat/level komunitas
1)
Memberikan
Pelatihan padat karya kepada komunitas–komunitas yang belum mempunyai kemampuan untuk
meningkat perekonomian komunitas tersebut.
2) Memberikan pengetahuan tentang Human Trafficking kepada
komunitas–komunitas.
3) Meningkatkan hubungan antar komunitas agar tidak
ada saling memanfaatkan
untuk kepentingan sendiri.
4) Memperkenalkan
atau memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada komunitas–komunitas tentang
modus–modus yang biasa digunakan para pelaku trafficking.
b. Pada
tingkat/level Nasional
1) Menegakkan Undang-Undang Nomor 21 tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang secara tegas.
2) Meningkatkan
keamanan penjagaan diperbatasan negara, baik darat maupun laut.
3) Meningkatkan
keamanan di imigrasi (izin keluar negeri).
4) Meningkatkan
lapangan kerja.
5) Meningkatkan
pendidikan.
6) Menutup
diskotik dan cafe yang eksploitasi
seksual.
7) Memberikan
pelatihan kepada PSK yang ditangkap agar mereka tidak kembali lagi kedunia yang
gelap.
8) Memberikan
hukuman seberat-beratnya kepada pelaku perdagangan orang.
9) Meningkatkan
perekonomian rakyat kecil.
10) Mengadakan
program dua anak lebih baik.
c. Pada
tingkat/level internasional
1) Meningkatkan
hubungan kerjasama antar negara untuk pemberantasan tindakan perdagangan orang.
2) Mengadakan
operasi bersama untuk pemberantasan tindakan perdagangan orang.
3) Membentuk
organisasi untuk memerangi perdagangan orang.
E.
Kesimpulan
Human
Trafficking atau perdagangan manusia merupakan permasalahan
yang sudah ada sejak kebudayaan manusia itu ada dan terus menerus terjadi
sampai saat ini. Penyebab utama terjadinya trafficking adalah kurangnya informasi tentang trafficking, kemiskinan dan rendahnya
pendidikan serta keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat terutama mereka
yang berada di pedesaan, sulitnya lapangan pekerjaan, selain itu juga masih
lemahnya pelaksanaan hukum di Indonesia tentang penanganan perdagangan orang.
Peraturan
perundang untuk memberatas tindak trafficking
telah diperbarui oleh pemerintah melalui Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun permasalah
trafficking sampai saat ini belum selesai juga. Dalam hal ini memang tidak
mudah untuk menghapus kegiatan trafficking,
karena permasalah trafficking adalah
permasalahan yang komplek. Untuk itu diperlukan juga penanganan yang sangat
komplek dengan berbagai cara melalui lintas sektoral. Berkaitan dengan hal ini
diperlukan juga suatu kebijakan khusus berupa peraturan dari pemerintah untuk
mendampingi Undang-undang yang ada, terkait dengan kemungkinan adanya kelemahan
perundangan dalam pelakasaan penanggulangan human
trafficking.
Akhirnya
semoga melalui tulisan yang sederharana ini upaya pemberantasan human trafficking mendapatkan respon
dari berbagai pihak, sehingga mendapatkan hasil yang positif, tidak ada lagi
penindasan, perbudakan, serta kekerasan dalam kehidupan ini. Terimakasih
Daftar Pustaka
Agus.
Bastoni. 2007. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Jakarta: Sinar Grafika.
Andi Yentriyani. 2004. Politik Perdagangan Perempuan. Yogyakarta: Galang Press.
Dian. 2010.“Gaya Hidup Modern Pemicu Human Trafficking
Paling Tinggi “. Diunduh pada 3 Juni 2010 di google.com.
Editor. 2005.
“Sosialisasi Bahaya Trafficking”, Jurnal Perempuan, Edisi 15 Februari 2005.
Fathul Jannah
et.al., 2003. Kekerasan
terhadap Istri. Yogyakarta: LKIS.
Handhyono,
Suparti. Human Trafficking dan
Kaitannya dengan Tindak Pidana KDART, makalah dalam Seminar di Kota
Batu-Malang, tanggal 30
November 2006.
Hartiningih,
Maria. Feminisme Migrasi dalam
Migrasi Internasional, http://www.kompas.com./kolomctil.asp.098!?. (diakses
tanggal 20 November 2010).
Harry Truman. 2007. “Kebijakan
Pemerintah Dalam Memberantas Kejahatan Kemanusiaan (Human
Trafficking)”. Diunduh pada tanggal 3 Juni 2010 di
http://www.w3.org/Harry Truman's Site - Trafficking.
Kementerian
Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat.2004. “Penghapusan Perdagangan
Orang.”. Jakarta. Tidak diterbitkan.
Komnas
Perempuan. 2002. Peta
Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Jakarta, Ameepro.
NN, 1999. Aliansi Global Menentang
Perdagangan Perempuan: Standar HAM untuk
Perlakuan terhadap Orang yang Diperdagangkan
NN, 2010. Mematahkan Persepsi Anak
Perempuan sebagai Asset Bakti vs. Eksploitasi:http://www.kompas.com./kolomctil.asp.098!?.
REPUBLIKA.CO.ID,
BATAM. Thursday, 11 December 2014, 00:18 WIB
Undang-undang
No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Langganan:
Postingan (Atom)