Oleh:
Peni Puspito
A.
Pendahuluan
Human Trafficking atau yang sering disebut dengan
penjualan manusia di Indonesia pada akhir-akhir ini marak diperbincangkan di media massa,
walau sesungguhnya pada jaman feodal maupun penjajahan hal ini bukanlah menjadi
isu yang dianggap penting dalam kehidupan bangsa. Pada jaman budaya feodal
masih berkembang, banyak sekali para penguasa menggunakan kekuatannya untuk
memiliki istri tidak hanya satu. Bahkan mereka sangat leluasa mempermainkan
kehidupan wanita atau semua manusia yang hidup dalam wilayah kekuasaannya.
Demikian pula pada masa pendudukan Jepang (1941-1945),
komersialisasi seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi dan
perempuan Belanda menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa
dari Singapura, Malaysia dan Hong Kong untuk melayani para perwira tinggi
Jepang (Hull, Sulistyaningsih dan Jones 1997).
Di
Indonesia saat ini masalah perdagangan orang masih menjadi salah satu ancaman
besar dimana setiap tahun hampir ribuan perempuan dan anak yang harus menjadi
korban trafficking. Seperti berita terbaru dari
republika.co.id, batam pada tanggal 11 Desember 2014 tentang human trafficking
ini, telah mengunggah berita bahwa Malaysia akan mendeportasi sebanyak 13 (tiga
belas) perempuan korban perdagangan manusia. Ke-13 (tiga belas)
korban tersebut terdiri dari 4 (empat) balita dan 8 (delapan) orang dewasa
pekerja imigran bermasalah, yang memasuki wilayah Negara Malaysia tanpa
disertai dengan dokumen lengkap. Perempuan-perempuan tersebut awalnya
dimaksudkan untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial di tempat-tempat
hiburan di Malaysia. Belum lagi bila kita saksikan di sudut-sudut perempatan jalan, masih
banyak sekali anak-anak yang seharusnya dapat menikmati hidupnya dengan
bermain, belajar, berkumpul teman dan saudaranya; namun mereka terpaksa harus
menjual koran, atau bahkan meminta-minta sedekah dengan cara melantumkan lagu (ngamen).
Melihat maraknya isu human trafficking, sebenarnya pemerintah
telah banyak mengeluarkan produk-produk aturan sebagai bentuk kebijakan untuk
memperkecil atau memepersepit peluang terjadinya human trafficking ini. Walaupun produk-produk aturan tersebut telah
lahir, kenyataannya bahwa human
trafficking masih saja marak terjadi di Negeri ini; lalu mengapa hal
tersebut sangat sulit hilang dari peradaban ini; Sejauh mana kemudian
peraturan-peraturan tersebut efektif dan mampu membuat jera para pelakunya?
Apakah setelah ada produk kebijakan baik yang berupa undang-undang ataupu
peraturan dapat menghentikan permasalahan human
trafficking?
Dalam tulisan ini ingin mencoba menelaah
bagaimana bentuk human trafficking,
konsep, serta implemetasi kebijakannya di Indonesia.
B. Human
Trafficking di Indonesia
1. Pengertian
Definisi human
trafficking mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to
Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and
Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational
Organized Crime tahun 2000.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan human
trafficking atau perdagangan manusia, yakni: “...the recruitment, transportation, transfer,
harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or
other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of
power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of
payments or benefits to achieve the consent of a person having control over
another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include,
at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of
sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to
slavery, servitude or the removal of organs.”, yang artinya:... perekrutan, pengiriman, pemindahan,
penampungan atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan
lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau kecurangan, atau penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, ataupun menerima/memberi bayaran, atau manfaat
untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat
prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan
paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau
pengambilan organ-organ tubuh.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pengertian human trafficking,
adalah sebagai berikut:
a. Mencakup
kegiatan pengiriman tenaga kerja, yaitu kegiatan memindahkan atau mengeluarkan
seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya atau keluarganya. Tetapi pengiriman
tenaga kerja yang dimaksud tidak harus atau tidak selalu berarti pengiriman ke
luar negeri.
b. Meskipun
trafficking dilakukan atas izin
tenaga kerja yang bersangkutan, izin tersebut sama sekali tidak menjadi relevan
(tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan trafficking tersebut)
apabila terjadi penyalahgunaan atau korban berada dalam posisi tidak berdaya.
Misalnya karena terjerat hutang, terdesak oleh kebutuhan ekonomi, dibuat
percaya bahwa dirinya tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, ditipu, atau
diperdaya.
c. Trafficking mempunyai tujuan eksploitasi,
terutama tenaga kerja (dengan menguras habis tenaga yang dipekerjakan) dan
eksploitasi seksual (dengan memanfaatkan kemudaan, kemolekan tubuh, serta daya
tarik seks yang dimiliki tenaga kerja yang yang bersangkutan dalam transaksi
seks).
Di
Indonesia pengertian human trafficking atau perdagangan manusia (perempuan
dan anak) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 88
Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan
Anak, yang menyatakan
bahwa: “Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu
atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara,
pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di
tempat tujuan – perempuan dan anak - dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan
verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi
kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi,
ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima
pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan
pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili),
buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin
pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat
terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.
2. Faktor Penyebab Human Trafficking
Dalam penelitian ILO-IPEC pada tahun
2003 di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jakarta, dan Jawa Barat
menyimpulkan bahwa trafficking di
Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks karena juga diperluas oleh
faktor ekonomi dan sosial budaya. Beberapa hal yang menjadi penyebab, antara lain:
a.
Kualitas Hidup
Kualitas hidup miskin di daerah
pedesaan dan desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik membuat anak dan
orang tua rentan dieksplotasi oleh para pelaku trafficking. Di samping
diskriminasi terhadap anak perempuan, seperti kawin muda, nilai keperawanan,
pandangan anak gadis tidak perlu pendidikan tinggi menjadi kunci faktor
pendorong. Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi
penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena
jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang.
Selain itu kurangnya pendidikan juga mempengaruhi. Orang dengan pendidikan yang
terbatas memiliki lebih sedikit keahlian atau skill, kesempatan kerja, dan mereka
lebih mudah diperdagangkan karena dengan bermigrasi mencari pekerjaan yang
tidak membutuhkan keahlian.
b.
Perilaku Konsumtif.
Perilaku
gaya hidup yang konsumtif, merupakan fakto ynag paling sering ditemukan.ng konsumtif.
Orang cenderung menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhannya. Terlebih
untuk kalangan remaja gaya hidup yang bermula di lingkungan sekolah atau
dirumah dapat menyebabkan perilaku-perilaku konsumtif yang pastinya mengarah
pada hal-hal yang negatif. Bila seseorang tidak bisa mengimbangi
gaya hidup, maka akan diikuti dengan faktor kejahatan. Selain itu, orang tua
jadi faktor yang mendorong pelaku. Gaya hidup yang konsumtif mendominasi
masyarakat belakangan ini. Yang memprihatinkan, gara-gara ekonomi yang lemah
dan tuntutan gaya hidup tinggi, menjadi faktor mendasar trafficking.Seharusnya
remaja dan masyarakat umum harus mampu mengendalikan diri untuk mengurangi gaya
hidup yang konsumtif. Maraknya kasus trafiking yang menimpa anak-anak remaja,
yang dijadikan pekerja seks komersial, kadang dilatarbelakangi keinginan korban
untuk memebuhi kebutuhan hidup, seperti HP yang keren, baju yang bagus, bahkan
uang untuk berfoya-foya.
c.
Faktor Budaya
Masyarakat
1)
Peran perempuan
dalam keluarga, meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat
perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan
seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga.
Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk
bekerja agar dapat membantu keluarga mereka.
2)
Peran anak
dalam keluarga, kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk
membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap praktek trafficking.
3)
Perkawinan dini, perkawinan
dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya
kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan
perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan
yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan
terhadap praktek trafficking hal ini disebabkan kerapuhan ekonomi mereka.
4)
Jeratan hutang, praktek
menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi
penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang
ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap
kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.
5)
Kurangnya
pencatatan kelahiran, orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi
mangsa trafficking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi.
Anak-anak yang perdagangkan, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa
manapun yang memintanya.
6)
Korupsi dan
lemahnya penegakan hukum,
pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku
trafficking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal.
Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak
benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat
buruh migran lebih rentan terhadap trafficking karena migrasi ilegal. Kurangnya
anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafficking menghalangi
kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut
pelaku trafficking.
d. Media massa
Media massa masih belum memberikan
perhatian yang penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang trafficking dan belum memberikan
kontribusi yang optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan
tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis
yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking
dan kejahatan susila lainnya.
Sesungguhnya tidak ada satu pun yang
merupakan penyebab khusus terjadinya human trafficking di Indonesia. Humana trafficking dapat disebabkan oleh keseluruhan hal yang
terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda seperti
yang telah diuraikan di atas.
3. Bentuk-Bentuk Trafficking
Ada
beberapa jenis atau bentuk human trafficking
(perdagangan manusia) yang terjadi pada perempuan dan anak-anak, di antaranya:
a. Kerja
Paksa Seks dan Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di wilayah
Indonesia.
b.
Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar
ataupun di wilayah Indonesia.
c. Bentuk
Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah Indonesia.
d. Penari,
Penghibur dan Pertukaran Budaya terutama di luar negeri.
e.
Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri.
f.
Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak,
terutama di Indonesia.
g.
Trafficking/penjualan
Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia.
Adapun
sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan dan anak-anak, di
antaranya:
a.
Anak-anak jalanan.
b.
Orang yang sedang mencari pekerjaan dan
tidak mempunyai pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan
dipilih.
c.
Perempuan dan anak di daerah konflik dan
yang menjadi pengungsi.
d.
Perempuan dan anak miskin di kota atau
pedesaan.
e.
Perempuan dan anak yang berada di wilayah
perbatasan anatar Negara.
f.
Perempuan dan anak yang keluarganya
terjerat hutang.
g.
Perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga, korban pemerkosaan
4. Rentan
Terjadinya Human Trafficking.
Perdagangan orang dapat mengambil
korban dari siapapun: orang-orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun
perempuan yang pada umumnya berada dalam kondisi rentan, seperti misalnya:
laki-laki, perempuan dan anak-anak dari keluarga miskin yang berasal dari
pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; mereka yang berpendidikan dan
berpengetahuan terbatas; yang terlibat masalah ekonomi, politik dan sosial yang
serius; anggota keluarga yang menghadapi krisis ekonomi seperti hilangnya
pendapatan suami/orang tua, suami/orang tua sakit keras, atau meninggal dunia;
anak-anak putus sekolah; korban kekerasan fisik, psikis, seksual; para pencari
kerja (termasuk buruh migran); perempuan dan anak jalanan; korban penculikan;
janda cerai akibat pernikahan dini; mereka yang mendapat tekanan dari orang tua
atau lingkungannya untuk bekerja; bahkan pekerja seks yang menganggap bahwa
bekerja di luar negeri menjanjikan pendapatan lebih.
Modus operandi rekrutmen terhadap
kelompok rentan tersebut biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai
kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam,
menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari,
menculik, menyekap, atau memperkosa. Modus lain berkedok mencari tenaga kerja
untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri
dengan upah besar. Ibu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau
membesarkan anak dibujuk dengan jeratan utang supaya anaknya boleh diadopsi
agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan.
Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan
memberikan barang-barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.
Memalsu identitas banyak dilakukan
terutama untuk perdagangan orang ke luar negeri. RT/RW, Kelurahan dan Kecamatan
dapat terlibat pemalsuan KTP atau Akte Kelahiran, karena adanya syarat umur
tertentu yang dituntut oleh agen untuk pengurusan dokumen (paspor). Dalam
pemrosesannya, juga melibatkan dinas-dinas yang tidak cermat meneliti
kesesuaian identitas dengan subjeknya.
Korban yang direkrut di bawa ke tempat
transit atau ke tempat tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan
pesawat terbang, kapal atau mobil tergantung pada tujuannya. Biasanya agen atau
calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan. Untuk ke luar negeri,
mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen dipegang oleh agen
termasuk dalam penanganan masalah keuangan. Seringkali
perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan yang ditempuh
sangat jauh sehingga sulit untuk kembali. Bila muncul keinginan korban untuk
kembali pulang, mereka ditakut-takuti atau diancam.
5.
Cara untuk
menghapuskan Human Trafficking
Untuk
menghapus perdagangan manusia ini sangatlah sulit, atau bahkan dapat dikata
tidak mungkin bahwa human trafficking
ini bisa hilang sama sekali. Namun demikian bukan berarti hal ini harus
dibiarkan tumbuh berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa cara
untuk memimalisir atau mencegah tumbuhkembangnya traffickinig ini, di antaranya:
a.
Hukuman, sebaiknya
peraturan pemerintah baik berupa undang-undang, Perpres ataupun perda
memberikan sanksi yang berat dan tegas kepada para pelaku Human Traficking terutama
para sindikat/bos/pelaku utama. Dalam pelaksanaannya hukuman yang diberikan
tidak boleh tebang pilih dan memberikan efek jera kepada para pelaku. Aturan
yang sudah ada harus benar-benar dilaksanakan jangan hanya dijadikan aturan
tanpa ada realisasinya.
b. Kerjasama
Penindakan Hukum, perdagangan orang menjadi ancaman bagi keamanan dalam
negeri karena telah menjadi sumber penghasilan yang sangat besar bagi sindikat
kejahatan internasional. Sebagai bagian dari transnational organized crime,
perdagangan orang tidak dapat diperangi secara partial atau secara
sendiri-sendiri oleh masing-masing negara. Negara- negara yang anti perbudakan
dan berniat melindungi kehidupan warganegaranya harus bersatu padu bekerjasama
memerangi perdagangan orang. Kerjasama antar Pemerintah (G-to-G) antar LSM,
organisasi masyarakat dan perseorangan dalam dan luar negeri harus dibina dan
dikembangkan sehingga terbentuk kekuatan yang mampu memberantas kejahatan
teroganisir tersebut. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama semua pihak baik
di dalam negeri maupun luar negeri untuk menghapuskan Human Trafficking ini.
c. Pengawasan Lalu-lintas Lintas Batas, Negara Kesatuan
Republik Indonesia mempunyai wilayah yang luasnya 5.193.252 km2 terdiri dari
sebagian besar lautan dan hanya 36,6 % berupa daratan. Daratan yang ada
merupakan rangkaian dari 17.000 pulau-pulau seluas total 1.904.443 km2 sehingga
batas-batas antar wilayah kabupaten/kota dan propinsi di dalam negeri, maupun
dengan negara tetangga menjadi sangat “porous”, mudah ditembus dengan berbagai
cara. Perbatasan antara propinsi-propinsi di Pulau Sumatera dengan Singapura
dan dengan Semenanjung Malaysia yang melalui laut, sangat mudah ditembus.
Demikian pula perbatasan antara propinsi di Kalimantan dengan Malaysia Timur
(Serawak dan Sabah) sangat mudah dilewati melalui “jalan-jalan tikus” dari
Kalimantan Barat menuju Kuching, Serawak atau dari Kalimantan Timur menuju
Tawau, Sabah. Demikian pula yang terjadi di perbatasan antara Papua dengan
Papua New Guinea. Oleh karena itu perlu ditingkat pengawasan lalu lintas lintas
batas antar negara.
d. Perlindungan Korban, perlindungan
korban perdagangan orang meliputi kegiatan: penampungan dalam tempat yang aman,
pemulangan (ke daerah asalnya atau ke dalam negeri) termasuk upaya pemberian
bantuan hukum dan pendampingan, rehabilitasi (pemulihan kesehatan fisik,
psikis), reintegrasi (penyatuan kembali ke keluarganya atau ke lingkungan
masyarakatnya) dan upaya pemberdayaan (ekonomi, pendidikan) agar korban tidak
terjebak kembali dalam perdagangan orang.
C.
Dasar-dasar Kebijakan Human
Trafficking di Indonesia
1. Pengaturan
Hukum Internasional Mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
Ada
empat perjanjian internasional pendahulu yang terkait dengan human trafficiking ini, yaitu :
a. Persetujuan
Internasional tanggal 18 Mei 1904 untuk penghapusan perdagangan budak kulit
putih (International Agreement for the Suppression of White Slave
Traffic). Dokumen ini diamandemen dengan protokol PBB pada
tanggal 3 Desember 1948.
b. Konvensi
Internasinal tanggal 4 Mei 1910 untuk penghapusan perdagangan budak kulit putih
(International Convention for the Suppression of White Slave
Traffic), diamandemen dengan protokol tersebut di atas.
c. Konvensi
Internasional tanggal 30 September 1921 untuk penghapusan perdagangan perempuan
dan anak (Convention of on the Suppression of Traffic in Women and
Children), diamandemen dengan protokol PBB tanggal 20
Oktober 1947.
d. Konvensi
Internasional tanggal 22 Oktober 1933 untuk penghapusan perdagangan perempuan
dewasa (International Convention of the Suppression of the Traffic
in Women of Full Age), diamandemen dengan protokol PBB tersebut di
atas.
Adapun larangan human
trafficking secara internasional telah banyak
instrumen yang mengaturnya, terdapat berbagai instrumen internasional yang
berkaitan dengan masalah human trafficking. Instrumen – instrumen yang dimaksud
yaitu antara lain :
1) Universal
Declaratin of Human Rights ;
2) International
Covenant on Civil and Political Rights;
3) International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights;
4) Convention
on the Rights of the Child and its Relevant Optional Protocol;
5)
Convention Concerning the Prohibiton
and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forums of Child Labour (
ILO No. 182 );
6)
Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Againts Women;
7)
United Nations protokol to Suppress,
Prevent, and Punish Trafficking in Against Transnational Organized Crime;
8)
SARC Convention on Combating
Trafficking in Women and Children for Prostitusion.
2.
Pengaturan Hukum Nasional Tentang
Human Trafficking
Ada
beberapa Hukum yang terkait dengan human
trafficking di Indonesia, di antaranya:
a.
Undang–Undang Dasar RI 1945
b.
Tap MPR XVII Tentang Hak Asasi
Manusia (HAM)
c.
Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia
d.
Undang–Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
e.
Konvensi Hak Anak
f.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang
Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP)
g.
Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
h.
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Perdangangan Orang (Human Trafficking)
Perempuan dan Anak
3.
Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Menangani Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking)
Adapun pembangunan hukum atau pembaruan
hukum memiliki hubungan yang sangat kuat dengan politik, oleh karena suatu
pembaruan hukum yang diawali dari pembuatan sampai pelembagaanya dilaksanakan
oleh lembaga politik, yang merupakan lembaga yang memiliki kekuatan dalam
masyarakat. Suatu proses pembentukan peraturan perundang- undangan dilaksanakan
melalui kebijakan formulasi/legislatif, sedangkan proses penegakan hukum atau
pelembagaan dilakukan melalui kebijakan aplikasi/yudikasi dan proses
pelaksanaan pidana dilakukan dengan kebijakan eksekusi/administrasi. Ketiga
tahapan kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam pencegahan tindak pidana
perdagangan orang adalah sebagai berikut:
a)
Kebijakan Formulasi/Legislasi.
Kebijakan formulasi/legislasi adalah proses
pembuatan peraturan perundan–undangan yang dilakukan oleh pembuat undang–undang
(pemerintah bersama–sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat). Kedua badan/institusi
inilah yang berwenang membuat peraturan hukum, yaitu melalui proses mewujudkan
harapan hukum dalam realita.
Dalam hal tindak pidana perdagangan orang,
sekarang ini sudah dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan norma
hukum dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu sudah sepantasnya Pasal 297
Kitab Undang–Undang Hukum Pidana harus ditinjau kembali dan diperbaharui dengan
aturan yang mengarah pada nilai–nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia, dan
masyarakat internasional. Perdagangan orang yang dianggap sebagai pelanggaran
harkat dan martabat manusia, sudah selayaknya mendapatkan tempat tersendiri
dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Atas dasar itu dengan dilandasi
penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, pemerintah
Indonesia mengundangkan Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
b) Kebijakan
Aplikasi/Yudikasi
Kebijakan aplikasi yaitu tahap penerapan
hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan. Tahapan ini dinamakan juga tahapan yudikasi. Kebijakan
aplikasi/yudikasi tidak terlepas dari sistem peradilan pidana (criminal
justice system), yaitu suatu upaya masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan/tindak pidana. Kebijakan aplikasi/yudikasi berhubungan
dengan proses penegak hukum dan bekerjanya hukum dalam masyarakat. Oleh karena
itu, dalam mewujudkan criminal justice system,
aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) harus dapat berkoordinasi dengan
baik dalam melaksanakan tugas, selaras dan berwibawa, atau harus mengacu pada
managemen criminal justice system.
Di dalam pengaturan hukum pidana di
Indonesia, tindak pidana perdagangan orang awalnya telah diatur dalam Pasal 297
Kitab Undang–Undang Hukum Pidana. Dalam Pasal 297 Kitab Undang–Undang Hukum
Pidana, perbuatan yang dilarang adalah melakukan perdagangan perempuan dan anak
laki–laki dibawah umur.
Pengaturan larangan untuk melakukan tindak
pidana perdagangan orang di dalam Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, diatur dalam pasal 2, yang
berbunyi :
“(1)
Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara
Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).”
Apabila Pasal 297 Kitab Undang–Undang
Hukum Pidana dibandingkan dengan Pasal 2 Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka terlihat jelas
bahwa kedua pasal berbeda dalam ruang lingkup dan pengenaan sanksi pidananya.
c) Kebijakan Eksekusi/Administrasi.
Kebijakan eksekusi adalah kebijakan hukum
dalam tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat–aparat
pelaksana pidana, dan tahap ini disebut juga tahap administrasi. Aparat
pelaksana pidana dilakukan oleh Petugas Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), bagi
mereka yang telah dijatuhi hukuman (punishment)
oleh Hakim.
Petugas Lembaga Pemasyarakatan adalah
pegawai yang melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik
pemasyarakatan, dimana para narapidana tersebut sudah diputus oleh pengadilan
dan dinyatakan bersalah maupun masih dalam tahapan upaya hukum.
Dalam bagian ini
hakim dalam melakukan penerapan hukuman, dapat berupa suatu pemberian
sanksi yakni misalnya sanksi pidana (penal)
dan sanksi administrasi (non penal).
Kepada pemberian sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang, hakim
dapat menjurus kepada konsep hukum
pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja, yaitu bersumber pada undang–undang,
yurisprudensi, atau gabungan antara undang – undang dan yurisprudensi.
Apabila pelaku pelaku tindak pidana perdagangan
orang akan dikenakan sanksi sesuai konsep hukum pembangunan, dapat merujuk pada
Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007, atau pada yurisprudensi. Namun dalam sistem
hukum di Indonesia, proses penegakan hukum lebih mengacu kepada asas legalitas,
yaitu berdasarkan peraturan hukum tertulis (undang–undang). Demikian juga hakim
di Indonesia, lebih sering menjatuhkan sanksi sesuai dengan aturan dalam
Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
D.
Pembahasan
1.
Pencegahan dan Penanggulangan Human
Trafficking
Human
Trafficking, khususnya bagi perempuan sebagai salah
satu bentuk tindak kejahatan yang sangat kompleks, tentunya memerlukan upaya
penanganan yang bersifat komprehensif
dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan profesionalitas semata,
namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik
sesama aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan
pihak-pihak lain yang terkait yakni lembaga pemerintah (kementerian terkait)
dan lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak
bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan
masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga
penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi
upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal
ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas perlindungan
dalam hukum.
Dalam konteks penyidikan dan penuntutan,
aparat penegak hukum dapat memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama
aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah negara, untuk bertukar
informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan aparat penegak
hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan
melalui mutual legal assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan
perempuan lintas negara.
Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan
ILO, dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention of Child Trafficking for Labor
and Sexual Exploitation. Tujuan dari program ini adalah:
a. Memperbaiki
kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atas
untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan,
b. Mendukung
keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus sekolah
dasar,
c. Menyediakan
pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan,
d. Menyediakan
pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha
sendiri,
e. Merubah
sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak.
2. Hambatan
Pemberantasan Trafficking
Dalam beberapa tahun
terakhir ini, pihak yang berwajib memang telah banyak melakukan tindakan hukum
kepada para trafficker dan memproses
mereka secara hukum serta mengajukannya kepengadilan. namun pihak kepolisian,
kejaksaan, pengacara dan pengamat yang peduli terhadap masalah perdagangan
orang sering mengeluhkan dengan adanya kendala di bidang perundang-undangan
yang menyebabkan hukum yang diberlakukan kepada trafficker tidak cukup berat dan tidak menimbulkan efek jera bagi
mereka. Memang ada beberapa pasal dalam KUHP yang dapat digunakan untuk
menjerat sebagian perbuatan trafficking;
namun demikian, KUHP itu masih memiliki kelemahan, diantara KUHP yang secara
khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur.
Sementara terhadap korban orang dewasa seperti tenaga kerja Indonesia, tidak
masuk dalam korban yang dilindungi oleh KUHP.
Kelemahan lainnya lagi
dari KUHP ini adalah, hanya membatasi ruang lingkup pada ekploitasi seksual,
padahal ada bentuk-bentuk eksploitasi lain yang menjadikan korbannya sebagai
tenaga kerja, pembantu rumah tangga, bahkan untuk adopsi illegal anak dan bayi.
Hal lain yang masih terkait dengan KUHP ini adalah, tentang batas usia di bawah
umur tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia di
bawah umur ataupun usia dewasa. Sementara itu, UU perlindungan anak juga tidak
cukup kuat untuk melindungi anak sebagai korban perdagangan orang.
Pada prinsipnya, secara umum upaya
penanggulangan perdagangan manusia ini, khususnya perdagangan perempuan dan
anak dapat dibagi atas 3 (tiga) kunci utama, yakni:
a.
Budaya masyarakat (culture)
Anggapan bahwa jangan terlibat dengan
masalah orang lain terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan
merugikan diri sendiri, anggapan tidak usah melaporkan masalah yang dialami,
dan lain sebagainya. Stereotipe yang
ada di masyarkat tersebut masih mempengaruhi cara berpikir masyarakat
dalam melihat persoalan kekerasan perempuan khususnya kekerasan yang dialami
korban perdagangan perempuan dan anak.
b.
Kebijakan pemerintah khususnya
peraturan perundang-undangan (legal substance)
Belum adanya regulasi yang khusus (UU anti
trafficking) mengenai perdagangan
perempuan dan anak selain dari Keppres No. 88 Tahun 2002 mengenai RAN
penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Ditambah lagi dengan masih
kurangnya pemahaman tentang perdagangan itu sendiri dan kurangnya sosialisasi
RAN anti trafficking tersebut.
c.
Aparat penegak hukum (legal
structure)
Keterbatasan peraturan yang ada (KUHP)
dalam menindak pelaku perdagangan perempuan dan anak berdampak pada penegakan
hukum bagi korban. Penyelesaian beberapa kasus mengalami kesulitan karena
seluruh proses perdagangan dari perekrutan hingga korban bekerja dilihat
sebagai proses kriminalisasi biasa.
3.
Alternatif Solusi Sebagai
Pertimbangan Penyusunan Kebijakan Khusus:
Solusi pemecahan
masalah trafficiking ini tidak hanya
bisa dilakukan oleh perorangan atau perkelompok, namun dibutuhkan kesadaran dan
kerjasama yang kuat di antara semua pihak baik perorangan, kelompok di tingkat lokal,
nasional, maupun internasional. Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya human trafficiking dan sekaligus kemungkinan menjadi pertimbangan
dalam menyusun kebijakan khusus dalam rangkan munculnya isu-isu baru yang tidak
dapat diakomodasi oleh hokum yang ada, di anataranya:
a. Pada
tingkat/level komunitas
1)
Memberikan
Pelatihan padat karya kepada komunitas–komunitas yang belum mempunyai kemampuan untuk
meningkat perekonomian komunitas tersebut.
2) Memberikan pengetahuan tentang Human Trafficking kepada
komunitas–komunitas.
3) Meningkatkan hubungan antar komunitas agar tidak
ada saling memanfaatkan
untuk kepentingan sendiri.
4) Memperkenalkan
atau memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada komunitas–komunitas tentang
modus–modus yang biasa digunakan para pelaku trafficking.
b. Pada
tingkat/level Nasional
1) Menegakkan Undang-Undang Nomor 21 tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang secara tegas.
2) Meningkatkan
keamanan penjagaan diperbatasan negara, baik darat maupun laut.
3) Meningkatkan
keamanan di imigrasi (izin keluar negeri).
4) Meningkatkan
lapangan kerja.
5) Meningkatkan
pendidikan.
6) Menutup
diskotik dan cafe yang eksploitasi
seksual.
7) Memberikan
pelatihan kepada PSK yang ditangkap agar mereka tidak kembali lagi kedunia yang
gelap.
8) Memberikan
hukuman seberat-beratnya kepada pelaku perdagangan orang.
9) Meningkatkan
perekonomian rakyat kecil.
10) Mengadakan
program dua anak lebih baik.
c. Pada
tingkat/level internasional
1) Meningkatkan
hubungan kerjasama antar negara untuk pemberantasan tindakan perdagangan orang.
2) Mengadakan
operasi bersama untuk pemberantasan tindakan perdagangan orang.
3) Membentuk
organisasi untuk memerangi perdagangan orang.
E.
Kesimpulan
Human
Trafficking atau perdagangan manusia merupakan permasalahan
yang sudah ada sejak kebudayaan manusia itu ada dan terus menerus terjadi
sampai saat ini. Penyebab utama terjadinya trafficking adalah kurangnya informasi tentang trafficking, kemiskinan dan rendahnya
pendidikan serta keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat terutama mereka
yang berada di pedesaan, sulitnya lapangan pekerjaan, selain itu juga masih
lemahnya pelaksanaan hukum di Indonesia tentang penanganan perdagangan orang.
Peraturan
perundang untuk memberatas tindak trafficking
telah diperbarui oleh pemerintah melalui Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun permasalah
trafficking sampai saat ini belum selesai juga. Dalam hal ini memang tidak
mudah untuk menghapus kegiatan trafficking,
karena permasalah trafficking adalah
permasalahan yang komplek. Untuk itu diperlukan juga penanganan yang sangat
komplek dengan berbagai cara melalui lintas sektoral. Berkaitan dengan hal ini
diperlukan juga suatu kebijakan khusus berupa peraturan dari pemerintah untuk
mendampingi Undang-undang yang ada, terkait dengan kemungkinan adanya kelemahan
perundangan dalam pelakasaan penanggulangan human
trafficking.
Akhirnya
semoga melalui tulisan yang sederharana ini upaya pemberantasan human trafficking mendapatkan respon
dari berbagai pihak, sehingga mendapatkan hasil yang positif, tidak ada lagi
penindasan, perbudakan, serta kekerasan dalam kehidupan ini. Terimakasih
Daftar Pustaka
Agus.
Bastoni. 2007. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Jakarta: Sinar Grafika.
Andi Yentriyani. 2004. Politik Perdagangan Perempuan. Yogyakarta: Galang Press.
Dian. 2010.“Gaya Hidup Modern Pemicu Human Trafficking
Paling Tinggi “. Diunduh pada 3 Juni 2010 di google.com.
Editor. 2005.
“Sosialisasi Bahaya Trafficking”, Jurnal Perempuan, Edisi 15 Februari 2005.
Fathul Jannah
et.al., 2003. Kekerasan
terhadap Istri. Yogyakarta: LKIS.
Handhyono,
Suparti. Human Trafficking dan
Kaitannya dengan Tindak Pidana KDART, makalah dalam Seminar di Kota
Batu-Malang, tanggal 30
November 2006.
Hartiningih,
Maria. Feminisme Migrasi dalam
Migrasi Internasional, http://www.kompas.com./kolomctil.asp.098!?. (diakses
tanggal 20 November 2010).
Harry Truman. 2007. “Kebijakan
Pemerintah Dalam Memberantas Kejahatan Kemanusiaan (Human
Trafficking)”. Diunduh pada tanggal 3 Juni 2010 di
http://www.w3.org/Harry Truman's Site - Trafficking.
Kementerian
Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat.2004. “Penghapusan Perdagangan
Orang.”. Jakarta. Tidak diterbitkan.
Komnas
Perempuan. 2002. Peta
Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Jakarta, Ameepro.
NN, 1999. Aliansi Global Menentang
Perdagangan Perempuan: Standar HAM untuk
Perlakuan terhadap Orang yang Diperdagangkan
NN, 2010. Mematahkan Persepsi Anak
Perempuan sebagai Asset Bakti vs. Eksploitasi:http://www.kompas.com./kolomctil.asp.098!?.
REPUBLIKA.CO.ID,
BATAM. Thursday, 11 December 2014, 00:18 WIB
Undang-undang
No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.