Jumat, 30 November 2012

FESTIVAL TARI GURU (Menjangkau Yang Tak Terjangkau)


Pekan Seni Guru (PSG) 2012 yang diprakasai oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur, telah berlangsung dengan sukses. Kesuksesan tersebut tentunya tidak terlepas dari peran serta guru-guru seni budaya di seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur dan komitmen, kerja keras, serta konsistensi dari penyelenggara kegiatan tersebut. Walaupun demikian bukan berarti kegiatan ini jauh dari kekurangan-kekurangannya. Dibandingkan dengan pelaksanaan PSG 2011 yang merupakan PSG pertama, PSG kedua telah banyak mengalami peningkatan baik dari sisi kuantitas (jumlah peserta) maupun kualitas (keseriusan) peserta dalam mengikuti kegiatan ini. Kalau PSG yang ke-1 di selenggarakan di Kabupaten Pamekasan, maka PSG ke-2 kali ini diselenggarakan di Surabaya. Ada tiga cabang seni yang difestivalkan dalam kegiatan PSG ke-2, yakni: Festival Tari Guru, Festival Seni Pertunjukan Musik Tradisi, dan Festival Seni Pertunjukan Musikalisasi Puisi. Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 8 Nopember 2012 ini difokuskan di dua tempat di wilayah jalan gentengkali Surabaya. Festival Seni Pertunjukan Musikalisasi Puisi diselenggarakan di Gedung Graha Saba kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur jalan gentengkali 33, sedangkan dua festival lainnya dipusatkan di Taman Budaya Jawa Timur jalan Gentengkali 85. Festival Tari Guru dalam PSG ke-2 yang tepatnya diselenggarakan di gedung Cak Durasim benar-benar menarik untuk ditoton. Keseriusan panitia dalam memberikan sarana prasrana pementasan karya semakin memberikan semangat para penata tari untuk menampilkan karya kreatifnya. Festival yang diikuti oleh 19 peserta dari kabupaten/kota di Jawa Timur ini, mencerminkan hasil karya kreatif para guru-guru. Ketentuan panitia untuk mengusung tema yang berasal dari nilai-nilai lokal, membuat pertunjukan menjadi sangat bervariasi dan tidak menjemukan. Ketentuan ini tampaknya juga menjadikan guru untuk mencoba mempelajari ulang nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tempatnya masing-masing. Setelah menyaksikan pertunjukan, ternyata tidak sedikit dari karya-karya yang dihasilkan itu secara maksimal mampu mengungkap nilai-nilai tersebut ke dalam karya kreatifnya. Selain itu, forum ini bagi para guru seolah menjadi ajang untuk meluapkan emosi kekaryaanya. Para guru yang sebagian besar waktunya disalurkan untuk tugas pembelajaran di kelas, tampaknya kali ini haus dengan kesempatan berkarya; sehingga tercermin sangat menggebu dalam pengembangan medium kekaryaannya tanpa melihat siapa yang menari atau mengkpresikannya. Terutama dalam pengembangan gerak, tampak ingin menjakau ruang dan teknik yang tak terjangkau oleh sang peraga. Pertanyaannya kemudian, perlukah membuat koreografi hanya bedasarkan pada idealisme gagasan semata dengan tanpa memperhatikan kemampuan teba gerak yang dimiliki oleh penarinya? Hal yang juga tampak terlihat sebagai kelemahan secara umum dalam kerkaryaannya adalah eksplorasi dalam pengembangan gerak yang kehilangan motivasi. Artinya ketika dalam proses kreatifnya gerak semata-mata disusun berdasar pada bentuk tanpa dilandasi oleh motivasi tema, atau isi yang terkait dengan misi tarian. Akhirnya tekesan antara tema, gerak, dan musik berjalan sendiri-sendiri nyaris tanpa harmoni. Apapun kelebihan dan kekurangan dalam kegiatan ini tentunya membawa dampak yang positif bagi pengembangan kualitas kompetensi profesional guru dalam penguasaan materi seni budaya. Bila demikian halnya, maka kegiatan semacam ini harus tetap diapresiasi dan selalu diberikan evaluasi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitasnya. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tentunya punya peran terhadap hal ini, oleh karenanya komitmen, konsistensi dalam pengembangan kegiatan ini perlu disikapi secara serius. Demikian selamat dan sukses untuk para guru, semoga pendidikan seni budaya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kercedasan bangsa dan negara tercinta.

Jumat, 02 November 2012

ESTETIKA LINGKUNGAN SEBUAH ALTERNATIF

Fenomena dalam pertumbuhan seni pertunjukan saat ini adalah kemasan yang selalu diarahkan pada estetika pertunjukan prosenium, benarkah? Jawabnya tidak juga, karena masih sering pula kita lihat pertunjukan yang tidak disajikan dalam kemasan panggung prosenium. Di beberapa daerah yang belum mempunyai panggung-panggung prosenium masih dengan kebiasaannya selalu menggelar pertunjukan di tempat-tempat 'seadanya' yang mereka miliki. Beberapa pertunjukan musik misalnya, masih sering dan bahkan dapat dikata menjamur untuk menggunakan pertunjukan outdoor atau terbuka. Bila dililat dari perspektif ini, maka seolah pertumbuhan seni pertunjukan kita tidak dalam ambang yang perlu kita bahas. Namun demikian bila kita cermati lebih jauh, sering kita saksikan pertunjukan-pertunjukan baik itu dalam forum-forum festival, lomba, atau pertunjukan karya kelas dan karya akhir mahasiswa di suatu perguruan tinggi yang membina seni memiliki kecenderungan menggunakan stage procenium -atau paling tidak menggunakan panggung- sebagai arena pergelarannya.
Konsep panggung semacam ini biasanya memiliki karakteristik penonton yang searah (hanya dilihat dari sisi depan)dan juga memberikan jarak antara pertunjukan dengan penonton. Panggung atau arena yang semacam ini sebetulnya bukanlah milik kesenian kita. Kesenian kita pada awalnya hanya disajikan pada arena yang sangat akrab dengan penonton atau bahkan lingkungannya yaitu di tengah lapang dan bisa dilihat dari berbagai sisi. Tonil yang pada zaman penjajahan sering dihadirkan untuk menghibur para Kompeni dan kroninya di Indonesia mulai memperkenalkan bentuk pertunjukan yang menggunakan prosenium sebagai arenanya. Perkembangan pertunjukan kita tampaknya kemudian banyak terpengaruh dengan arena semacam ini terutama pada kesenian wayang orang dari mangkunegaran. Bukan hanya itu, bahkan kesenian-kesenian rakyat yang banyak berkembang di desa-desa juga turut terpenngaruh walau sarana dan prasarana yang dimiliki belum cukup untuk dikatakan ideal. Perkembangan konsep panggung semacam ini kemudian juga diperkuat oleh sekolah-sekolah formal kesenian yang pada saat itu bermunculan. Konsep dan ilmu-ilmu pertunjukan banyak mengadopsi dari Barat. Hal ini ternyata memiliki dampak terhadap kuailitas seniman kita. Banyak para seniman yang kemudian tidak lagi mengakrabi lingkungan sebagai sumber pendewasaan berkesenaannya. Tentunya hal ini tidak juga dikatakan salah, namun akibatnya terjadi pendangkalan-pendangkalan nilai, sikap, serta wawasan berkesiannya. Banyak suara yang dilontarkan baik dalam forum formal maupun non, bahwa seniman kita mulai 'kehilangan' spiritualitas, emosilitas, dan bahkan intelektualitas; yang mereka kuasai hanyalah teknik dan bentuk fisik semata. Dari fenomena ini mungkinkah kita berusaha mencoba menggali lagi potensi lingkungan sebagai modal dalam proses berkesenian kita. Pada akhirnya kita akan menemukan jati diri sebagai seniman yang mampu mengolah lingkungan sebagai dasar estetika berkesenian kita. tentunya ini sebuah wacana yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif.....