Sabtu, 02 Juli 2011

JANGER BANYUWANGI


KOREOGRAFI JANGER BANYUWANGI
Oleh: Peni Puspito

I.       Pendahuluan
Istilah Janger tidaklah asing bagi masyarakat Banyuwangi yang sebagian besar penduduknya mewarisi kebudayaan osing. Janger adalah sebuah seni pertunjukan yang disajikan kurang lebih selama 7 (tujuh) jam secara terus menerus. Seni pertunjukan ini juga dikenal dengan sebutan Damarwulan; namun dalam istilah keseharian masyarakat lebih akrab menyebut Janger. Upaya pemerintah dalam mengembangkan kesenian ini melalui kegiatan seminar dan workshop sangat besar, melalui hasil sarasehan pernah kesenian ini diberi nama baru yakni kesenian Jinggoan; namun tampaknya dalam perkembangan selanjutnya upaya ini belum mampu diimplementasikan oleh sebagian besar masyarakat Banyuwangi.
Sampai saat ini Janger masih tetap eksis dan bahkan mengalami perkembangan yang signifikan, namun demikian tidak semua orang tahu secara pasti kapan kesenian ini mulai ada. Berbagai informasi tentang asal-usul kesenian ini belum memberikan jawaban yang pasti secara ilmiah.
Bila dilihat dari bentuk sajiannya, kesenian yang tergolong pada genre dramatari ini memiliki bentuk sangat unik. Dikatakan unik karena berbagai gaya seni pertunjukan (jawa dan Bali) mampu berkolaborasi secara utuh dalam kesenian yang disebut Janger ini. Gaya yang paling menojol dalam pertunjukan ini adalah etnik Bali, karena gerak, musik, serta busananya cenderung berorientasi pada etnik Bali; sedangkan unsur pertunjukan bergaya etnik Jawa terletak pada bahasa, tembang, dan pemanggungan.
Tulisan ini berusaha memberikan sedikit informmasi tentang dramatari tradisional Janger melalui kajian koreografis. Harapannya dari kajian ini dapat membangun kesadaran bersama dalam memahami seni pertunjukan etnik di wilayah Jawa Timur khususnya.
II.    Konsepsi
A.    Asal-usul
Melacak asal-usul kesenian Janger Banyuwangi ini tidak mudah, karena data tertulis yang memberi informasi tentang keberadaannya sangat sedikit. Melalui data yang terbatas ini  dicoba untuk memberi sedikit informasi tentang asal-usul dan perkembangan Kesenian Janger ini.
Selain Janger, kesenian ini sering pula disebut Damarwulan; dua istilah ini bagi masyarakat banyuwangi sama-sama populernya. Disebut dammarwulan, karena pada mulanya kesenian ini selalu menyajikan cerita atau kisah kehidupan Damarwulan. Istilah ini diperkirakan lebih dulu digunakan untuk menyebut kesenian ini dari pada istilah Janger. Informasi ini juga diberikan oleh Pigeaud (1991: 245) dalam bukunya yang berjudul Javaanse Volksvertoninge. Adapun istilah Janger lebih banyak ditemukan dalam kehidupan keseharian masyarakat secara lisan.
Data lapangan yang memberikan informasi tentang asal-usul kesenian ini sangat diragukan keabsahannya, sehingga belum memberi jawaban yang bersifat ilmiah. Beberapa nara sumber yang ditemui, selalu bernada sama dalam memberikan informasi. Kisah seni pertunjukan ini berawal dari cerita Noerdian salah satu cucu dari tokoh yang dianggap sebagai pencipta/pendiri kesenian Damarwulan. Mbah Dardji yang merupakan kakek Noerdian, adalah seorang penari dari salah satu kelompok kesenian Ande-ande Lumut dan sekaligus berprofesi sebagai pedagang sapi yang harus pulang pergi dari Banyuwangi ke Bali. Setelah banyak bergaul dengan kesenian Bali, pada tahun 1918 beliau mendirikan kesenian Damarwulan Klembon (di dukuh Klembon, desa Singonegaran) yang anggotanya berasal dari anggota perkumpulan Ande-ande Lumut.
Sahuni dalam tulisannya yang berjudul ‘Kesenian Daerah Damarwulan’, mengemukakan bahwa Kesenian Janger lahir dari usaha kreatif para pendukung kesenian Ande-ande Lumut yang pada saat itu sangat popular di kalang masyarakat. Sudardji (Mbah Dardji) yang berhasil belajar tari Bali dari Bapak Singo di kediamannya kampung Bali Banyuwangi, meneruskan pelatihan kepada para pelaku kesenian Ande-ande Lumut. Semakin berkembangnya kesenian Ande-ande Lumut, kemudian kesenian ini berubah  nama menjadi Damarwulan.
Dua versi untuk mencari asal-usul tersebut bila kita sandingkan dengan teori yang kemukakan oleh Sedyawati, maka perlu dipertanyakan kebenarannya. Teori yang dimaksud, yakni:
“Suatu bentuk kesenian, terutama yang tidak dapat digolongkan sebagai primitif, pada umumnya tidak lahir semata-mata sebagai cetusan penemuan baru yang tiba-tiba ada, melainkan kalau dilihat dalam rentang waktu yang panjang akan ternyata bahwa hal-hal baru senantiasa bertolak dari yang sudah ada sebelumnya”. (Sedyawati: 1981: 2)
Versi penulis dalam melacak asal-usul kesenian ini, mencoba menyandingkan dengan kesenian yang jauh lebih lama pernah hidup diwilayah ini, yakni kesenian Gambuh. Seperti ditulis oleh Bandem (1975: 20) dan (1981:34), bahwa cerita yang disajikan dalam pertunjukan Gambuh berkisar pada cerita Panji (Malat). Selain cerita Panji, Gambuh juga memakai cerita Damarwulan yang sangat popular atau berkembang pada abad ke-14. Kemudian juga dijelaskan oleh Bandem (1975:10) konsep penataan laku pertunjukan Gambuh yang dikutip dari Walter Spies dan R. Goris, bahwa:
1.      Bila raja akan masuk ke arena pentas, ia didahului oleh Demang atau Tumenggung, kemudian Patih, para Arya, dan terakhir adalah Raja.
2.      Bila putrid raja akan masuk arena, ia didahului oleh condong (abdi wanita), kemudian abdi keraton yang lainnya, dan terakhir putrid yang dimaksud.
3.      Jika pangeran muda yang menjadi tokoh utama akan tampil di arena, maka akan didahului oleh Kamuruhan, Kadehan, dan Rangga.
Ciri lain yang dijelaskan oleh Bandem adalah para penari Gambuh berjenis kelamin pria, dan pertunjukan ini berjenis dramatari tidak menggunakan topeng.
Bila ciri-ciri tersebut merupakan karekteristik pertunjukan Gambuh, maka dapat diperkirakan kesenian Gabuh merupakan asal-usul kesenian Janger di Banyuwangi. Hal ini dipertegas lagi oleh Bandem (1983:70), bahwa pada sekitar abad XV – XVI ketika Majapahit ditaklukan oleh Islam, kerajaan Blambagan masih mampu menolak kekuatan Islam. Pada saat itu hampir semua barang-barang kebudayaan Hindu diboyong oleh transmigran yang datang ke Bali. Barang-barang tersebut di antaranya berupa transkrip, literatur, dan termasuk pertunjukan Gambuh.
B.     Cerita
Pada awalnya pertunjukan ini, selalu menyajikan ceritera-cerita yang berkisar pada kehidupan Panji Damarwulan; kemudian setelah masuk pengaruh seni pertunjukan lain, seperti ketoprak, ludrug, wayang orang tidak lagi menggunakan cerita Damarwulan, namun banyak menampilkan babad, cerita rakyat atau bahkan cerita-cerita popular lainya.
Cerita-cerita yang disajikan dikemas dalam bentuk skenario yang sederhana, dan selalu disampaikan kepada para pemain kurang lebih 60 (enampuluh) menit sebelum pertunjukan dimulai. Bentuk scenario ada yang dibuat dengan tulisan (tangan atau diketik) pada lembaran kertas, atau ada juga yang ditulis dalam papan tulis yang disediakan dalam ruang belakang panggung. Tidak semua lakon menggunakan scenario, melainkan hanya lakon-lakon tertentu yang dianggap sulit, hal ini sekedar untuk mempermudah para aktor dalam mengingat sekaligus mengontrol peristiwa di atas panggung.
Pembagian adegan biasanya tersusun sebagai berikut:
1.      Jejeran, adalah sebuah adegan yang isinya menggambarkan pertemuan, biasanya diselenggarakan di tempat-tempat tertentu, misalnya: kedaton, keputren atau taman, pertapan, rumah rakyat/pedesaan/gubug.
2.      Bodolan, adalah sebuah adegan yang isinya mengisahkan persiapan sampai dengan keberangakatan pasukan dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana diceritakan dalam adegan sebelumnya.
3.      Tempukan, adalah sebuah adegan yang menggambarkan pertemuan antara seseorang tokoh atau kelompok yang saling berselisih dan atau sebaliknya. Hal ini bisa digambarkan sebagai pertemuan antara tokoh (protagonist) bertemu dengan kelompok (antagonis), kelompok (protagonist) dengan kelompok (antagonis), atau tokoh (protagonist) bertemu dengan tokoh (antagonis), demikian seterusnya.
4.      Start, adalah sebuah adegan yang menggambarkan sebuah perjalanan. Pada adegan ini biasanya dimunculkan seorang tokoh bambangan (protagonist) yang diikuti oleh beberapa orang abdinya; atau bisa pula menggabarkan seorang putrid yang sedang melarikan diri dari kejaran musuh.
5.      Gandrungan, adalah sebuah adegan yang isinya menggambarkan situasi bernadakan percintaan, baik dalam konteks saling menyenangi ataupun sebaliknya.
6.      Dagelan atau Lawakan, adalah sebuah adegan yang menampilkan tokoh-tokoh lawak atau lucu dengan maksud memberikan hiburan segar kepada penonton. Dalam adegan ini isinya masalahnya bisa berkisar pada cerita utama, bisa pula lepas dari masalah utama. Karena sifatnya yang sangat khas yakni untuk menghibur penonton, maka tidak jarang adegan ini sangat dinanti oleh para penontonnya.
7.      Perang, adalah sebuah adegan yang menggabarkan situasi konflik phisik antar kelompok. Dalam hal ini bisa digambarkan 1 (satu) melawan 1 (satu), 1 (satu) melawan kelompok, atau kelompok melawan kelompok
8.      Penutup, merupakan penyelesaian akhir dari seluruh cerita yang disajikan, biasanya digambarkan dengan berkumpulnya kembali pihak yang bercerai-berai dan memuji syukur kepada Sang Pencipta.
C.    Pemeranan dan Karakterisasi
Menentukan  jumlah dan jenis peran sangat terggantung pada cerita yang akan dibawakan. Peran yang mempunyai nama hanyalah peran yang tergolong pada peran utama dan peran pembantu, di luar itu pemeranan yang sifatnya klompok seperti prajurit, siswa atau cantrik, dayang-dayang bila memerlukan nama dapat menggunakan nama pemerannya sendiri. Bila dilihat dari jenis peran yang ditampilkan, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Raja, yag terdiri dari raja Sabrang dan raja Jawa, atau raja di luar keduanya
2.      Patih
3.      Tumenggung
4.      Permaisuri dan Selir
5.      Putri atau putra raja
6.      Saudara raja (adik, kakak, paman, dan sebagainya
7.      Tokoh pahlawan (seringkali menampilkan tokoh putra)
8.      Dagelan atau pelawak
9.      Pendeta
10.  Kelompok prajurit, cantrik, atau dayang-dayang
11.  Tokoh-tokoh tambahan, biasanya berupa binantang, setan, dan sebagainya
Dari sejumlah peran tersebut, pada garis besarnya terbagi menjadi 5 (lima) kelompok karakter, yakni:
1.      Putra gagah bawokan atau brawokan, adalah karakter yang memiliki sifat kasar, otoriter, egois, srakah, biasanya dalam cerita tergolong pada tokoh antagonis, misalnya: raja, patih, atau prajurit dari kerajaan sabrang, Kebo Marcuet, Minakjinggo, dan sebagainya.
2.      Putra madya atau tengahan, karakter putra gagah yang tidak menunjukan sifat kasar (dalam karakter pertengahan antara kasar dan halus), misalnya: raja, patih, tumenggung prajurit yang berasal dari kerajaan Jawa
3.      Putra bambangan, karakter putra yang digambarkan sebagai seorang keluarga kerajaan atau kesatria berbudi halus, lembut, luhur, bijaksana, misalnya: tokoh utama yang protagonist dan keluarga atau kerabat raja.
4.      Putri atau wadonan, karakter yang mengambarkan seorang putri baik putri yang lemah-gemulai atau agresif.
5.      Lain-lain, adalah karakter yang tidak tergolong pada keempat jenis tersebut, merupakan karakter yang dimiliki tokoh-tokoh tertentu, misalnya: dagelan, emban, tokoh-tokoh binatang, setan, dan sebagainya.
D.    Kelengkapan Lain
Untuk membangun motivasi spiritual para aktor Janger Banyuwangi, biasanya masing-masing grup tidak dapat melepaskan kelengkapan lain di luar masalah artistik yang berupa sesaji dan penjangkung. Sesaji atau yang sering mereka sebut sajen adalah suatu perlengkapan terdiri dari berbagai jenis hasil bumi yang dimanfaatkan sebagai syarat berbagai kegiatan, guna meminta restu pada arwah nenek moyang atau danyang yang menjaga lingkungan agar segala yang dilakukan dijauhkan dari malapetaka.
Adapun penjangkung adalah seorang sesepuh yang ditunjuk oleh grup seni pertunjukan untuk mengayomi segala ativitas yang berkait dengan pementasan atau pergelaran. Seorang penjangkung diharapkan mampu menolak masalah (balak) yang tidak dikehendaki oleh rombongan, misalnya datangnya hujan, gangguan yang datang dari baureksa desa dimana mereka sedang mengadakan pertunjukan, atau gangguan dari kelompok lain yang tidak bertanggungjawab. Selain menolak balak seorang Penjangkung diharapkan mampu membuat seni pertunjukan yang digelar dikagumi oleh penontonnya , baik dari sisi aktor maupun seluruh rangkaian pergelarannya.
III. Bentuk Teknis
A.    Gaya penyajian
Yang dimaksud dengan gaya, adalah sesuatu yang meliputi pengertian tentang wujud serta sifat pembawaan dari sebuah penyajian. Seni pertunjukan Janger Banyuwangi memiliki cirri-ciri sebagai pertunjukan dramatari tradisional. Sebagaimana diutarakan Lindsay (1991: 45-46), bahwa ciri dramatari tradisional, adalah: 1) hidup dalam kurun waktu yang cukup; 2) punya identitas daerah atau regional; 3) ceritanya tradisional (sudah umum atau sudah dikenal); 4) punya pola dramatik tertentu yang dapat digunakan sebelumnya; 5) tidak menggunakan naskah.
Secara menyeluruh gaya penyajiannya memiliki kemiripan dengan gaya-gaya pertunjukan ketoprak, ludrug, dan wayang orang. Selain memiliki kemiripan dengan seni pertujukan tersebut, kesenian ini memiliki gaya yang sangat khas yakni gerak dan musik pengiringnya menggunakan gaya Bali. Arena pertunjukannya secara spesifik menggunakan panggung prosesnium yang dapat dibongkar-pasang; menggunakan layar bergambar realis dan setting lainnya; menggunakan lighting sederhana beserta sound sistemnya; menggunakan seperangkat gamelan Bali yang sering disebut Gong Gebyar. Selain gerak dan musiknya lebih berorientasi pada gaya Bali dan sedikit dicampur gaya daerah (Banyuwangi), dialog dan tembang yang digunakan berorientasi pada bahasa dan tembang Jawa, desain busananya merupakan perpaduan gaya bali dan jawa.
B.     Kualitas gerak
Kualitas gerak yang dihadirkan memiliki memiliki kecenderungan menggunakan kualitas  bergetar, mengayun, sedikit perkutif (patah-patah). Kualitas gerak bergetar sering muncul ketika orientasi gerak yang dihadirkan penari lebih dekat kearah kualitas bergaya Bali. Fokus gerak tubuh yang bergetar biasanya terdapat pada gerakan tangan, sedangkan tubuh yang lain tidak terlalu banyak menunjukan kualitas ini, kecuali pada tokoh-tokoh yang memerankan karakter bawokan.
Adapun kualitas mengayun sering muncul ketika orientasi gerak penari condong pada ekspresi gerak tari daerah (banyuwangi). Kualitas mengayun cenderung lebih tebal dihadirkan dalam pertunjukan ini, walau bentuk-bentuk yang disajikan menggunakan bentuk gaya tari Bali. Kekokohan posisi terutama pada posisi agem tidak begitu menunjukan hal yang dominan, karena posisi tersebut tidak dilakukan dengan teknik kaki yang mengarah ke sana. Kecenderungan penggunaan tumit sebagai penahan berat badan, mengarahkan pada hadirnya kualitas gerak yang mengayun.
Kehadiran kualitas gerak yang patah-patah tidak banyak dihadirkan, kecuali pada adegan peperangan atau pada karakter tokoh yang memiliki sikap keras, congkah, egois, dan sejenisnya. Kualitas ini selain dapat dihadirkan secara sengaja untuk mempertegas ekspresi penokohan oleh pemeran, kadang dapat muncul dalam pembawaan atau gaya penari yang berpotensi memilki gaya individual kearah kualitas gerak patah-patah ini.
 IV. Penyajian
A.    Struktur penyajian
Sajian awal dari ppertunjukan ini adalah tampilnya musik pengantar suasana yang membawakan gending berirama Bali. Selain menciptakan suasana yang khas, pada bagian ini juga berfungsi sebagai tanda akan diadakannya pertunjukan Janger. Setelah seluruh persiapan selesai barulah disajikan musik pembuka dan dilanjutkan dengan ucapan salam, terimakasih, informasi cerita dan casting yang akan membawakan lokon pada malam yang dimaksud. Biasanya hal  ini dibawakan oleh seorang pembawa acara atau dalang, diakhiri dengan suara ledakan yang terbuat dari petasan.
Bagian selanjutnya adalah ekstra yang merupakan bagian pembuka dengan menampilkan tarian pembuka sebagai penyambutan atau ucapan selamat datang kepada para penontonnya. Tarian yang disajikan bisa berbentuk tari daerah (Banyuwangi) atau tari Bali, dan jumlahnya tidak terbatas bisa 2 atau 3 jenistarian.
Selajutnya masuk pada bagian inti, yang menyajikan rangkaian pembabakan dari awal hingga akhir cerita. Secara garis besar biasanya dalam pertunjukan Janger ini terbagi menjadi 5 (lima) babak, yakni:
1.      Babak pertama, menceritakan sebuah kerajaan atau komunitas (pertama) sebagai pembuka masalah, dalam babak ini terdiri dari dua adegan yaitu kedaton atau desa (pertama) dan margi (perjalanan).
2.      Babak kedua, menceritakan sebuah kerajaan atau komunitas (kedua) yang akan tertimpa masalah, dalam babak ini terdiri dari empat adegan yaitu kerajaan atau desa (kedua), margi, pertemuan dengan kerajaan atau komunitas (pertama), diakhiri dengan peperangan kecil yang belum terselesaikan masalahnya.
3.      Babak ketiga, menceritakan perjalanan seorang tokoh kebenaran (protagonist), berisikan 2 adegan yaitu adegan lawakan atau dagelan, dan datangnya tokoh yang akan melanjutkan perjalanan.
4.      Babak keempat, menceritakan subuah kerajaan, keputren, atau permasalahan baru yang  melibatkan peran atau tokoh putri. Permasalah pada babak ini merupakan kelanjutan dari permasalahan sebelumnya, namun dalam kondisi semakin meruncing. Ada tiga adegan dalam babak ini yaitu jejeran, berhibur melalui nyanyian, dan terakhir kedatangan tamu yang membawa masalah besar hingga terjadi peperangan.
5.      Babak kelima, merupakan penyelesaian masalah, terdiri dari tiga adegan yaitu pihak yang lemah bertemu dengan tokoh kebenaran, peperangan antara tokoh antagonis melawan protagonist, kembali dalam kondisi yang tentram dan damai
Pola pembabakan ini merupakan pola pembabakan yang sering ditemui dalam pertunjukan Janger, oleh karenanya hal ini bukan merupakan pola yang selalu dirujuk oleh para sutradara Janger Banyuwangi.
Bagian akhir dalam pertunjukan ini biasanya ditandai oleh musik penutup dan ucapan terimaksih dari rombongan kesenian.
B.     Gerak
Bila diperhatikan secara seksama, gerak tari yang digunakan dalam pertunjukan ini dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) gaya, yakni:
1.      Gaya tari Bali, yakni gaya gerak yang dimiliki oleh etnik Bali. Gerak ini sangat mendominasi dan bahkan ‘nyaris’ menjadi medium pokok dalam membangun karakteristik pertunjukan ini.
2.      Gaya tari Daerah (Banyuwangi), yakni gaya gerak yang dimiliki oleh etnik Banyuwangi. Kehadiran gerak-gerak daerah ini digunakan sebagai variasi atau selingan dalam pertunjukan. Biasanya dimunculkan dalam adegan ketika ada alur cerita yang tidak merusak inti ceritera yang dibawakan secara menyeluruh, justru mendukung memberikan kekuatan artistiknya
3.      Gaya tari individu (bebas), yakni gaya tari (gerak)  yang dimiliki oleh masing-masing individu terkait dengan pemeranan seseorang. Sifat gerak yang presentasikan lebih banyak pada gerak-gerak improvisasi atau spontanitas.
Berdasarkan penataannya, gerak tari dapat dibagi atas 4 (empat) jenis:
1.      Gerak mempola, adalah suatu rangkaian regak yang secara menyeluruh telah mengalami pembakuan strukturnya. Pembakuan struktur dalam hal ini, dapat dikaitkan dengan tata laku, musik, dan bahkan dengan tata ruang. Contoh gerak ini sering mucul pada gerak-gerak tari dalam adegan pisowanan. Biasanya dimulai dari munculnya 4 (empat) orang penari ke arena pertunjukan dengan gerak berjalan, kemudian berhenti dengan posisi agem kanan pada garis diagonal; dilanjutkan dengan gerakan sledet, kemudian berganti agem tetap dalam posisi diagonal. Setelah itu dilanjutkan sendi (angsel) dan berjalan lagi membuat pola lantai angka delapan. Struktur gerak semacan ini dilakukan 2 (dua) kali, kemudian diakhiri dengan sembahan pada singgasana raja. Sebelum raja keluar, biasanya masih diselingi lagi peran patih atau tingkat kepangkatan yang lebih tinggi dengan menggunakan srtuktur yang sama. Penari yang paling akhir masuk ke arena pentas adalah penari yang memerankan tokoh atau raja. Sebelum tokoh (raja) keluar arena biasanya didahului dengan ucapan dalang yang memberikan informasi datangnya tokoh (raja) dan bila raja ini memiliki karakter bawokan, maka gending pengiringnya pun berubah menjadi gending Jaok.
2.      Gerak spontan, adalah gerak yang dilakukan atas laku spontan dalam rangka menanggapi atau merespon situasi, kondisi, dan lawan bermainnya. Contoh gerak ini banyak terdapat pada gerakan-gerakan lawakan dan juga adegan peperangan.
3.      Gerak maknawi atau representatif, adalah gerak yang telah mengalami stilisasi dan mempunyai makna representatif. Contoh gerak ini sering terlihat pada gerakan untuk mempertegas makna komunikasi antar tokoh, misalnya: menunjuk, ulap-ulap, sedah sedih, dan sebagainya.
4.      Gerak improvisasi, adalah gerak yang dilakukan atas usaha kreatif untuk menghadapi situasi dan kondisi di atas pentas. Berbeda dengan gerak spontan, gerakan ini tetap dikontrol oleh pelakunya untuk berlaku kreatif sehingga melahirkan gerak-gerak yang estetik.
Bila dikaitkan dengan ekspresi karakter tokoh, gerak memiliki perbedaan yang relatif mencolok, misalnya:
1.      Putra gagah bawokan,
Mengekspresikan tokoh ini melalui gerak tari, sering ditempuh dengan gerakan-gerakan yang memiliki volume ruang cenderung membuka dan sedikit mengarah ke atas. Lintasan-litasan lantai juga banyak dieksplor, pada akhirnya dapat memberikan sentuhan emosi yang menyimbolkan kebebasan, kesrakahan, serta otoritas yang kuat.  Pada tataran tenaga, kekuatan ditampilkan secara inten dan tersalur terus menerus, hal ini memberikan kesan makna pada kekuatan phisik . Dari sisi ritmik, sering terlihat lompatan-lompatan ritme secara dinamis, yang kemudian terkesan seolah karakter yang kurang sabar.
2.      Putra madya atau tengahan
Gerakan pada karakter ini, sedikit lebih halus dibanding karakter bawokan. Volume gerak tetap cenderung membuka, namun tidak memanfaatkan ruang atas. lintasan relatif tidak dieksplor tetapi menurut kebutuhan yang terkait dengan motivasi isi adegan pada saat itu. Penggunaan tenaga menunjukan itensitas yang terus menerus sehinga secara phisik memberikan kesan kegagahan. Pengembangan ritme tidak menampakan lompatan-lompatan, lebih menunjukan pola-pola gerak yang sejaja dengan ritme musiknya. Ekspresi gerak yang semacam ini mampu member kesan katakter tokoh yang gagah, patuh, tertib, dan tidak arogan.
3.      Putra bambangan
Karakter gerak pada tokoh ini, biasanya lebih mencerminkan kesan sikap lembut, bijaksana, sabar, dan kharismatik. Untuk mewujudkan karakter ini melalui gerak tari, bisa dikontrol melalui penggunaan volume yang tidak cenderung melebar, secukupnya terjangkau, dan cenderung ke bawah. Pola ritme cenderung melemah, penggunaan tenaga tidak ditonjolkan kekuatan-kekuatan.
4.      Putri atau wadonan
Ada 2 (dua) sifat yang berbeda atas karakter ini, yang satu cenderung lemah-gemulai dan lainnya agresif. Untuk karakter lemah-gemulai, ditempuh dengan penggunaan volume gerak yang cenderung kebawah dengan jangkauan yang tidak melebar. Pola ritme cenderung melemah, kekuatan tenaga tidak ditonjolkan. Adapun untuk karakter agresif volume terjangkau, dan dalam posis medium. Penggunaan tenaga yang relatif menonjol, ritme cenderung tepat pada deguban atau bahkan cenderung sedikit mendahului.
C.    Musik
Pada prinsipnya baik dilihat dari bentuk instrumentasi ataupun instrumentalianya, musik yang digunakan sebagai pengiring pertunjukan ini adalah jenis gamelan Bali yang sering disebut dengan Gong Gebyar. Selain seperangkat gamelan tersebut masih ditambah lagi dengan instrument musik daerah yang terdiri dari kendang, kluncing, kenong dan terkadang biola. Gending-gending bali biasanya digunakan pada adegan-adegan baku atau pakem, sedangkan daerah cenderung untuk mengiringi adegan-adegan selingan. Sesuai dengan fungsinya sebagai pengiring, penata gending selalu menyesuaikan gending-gending yang ditampilkan berdasar suasana, peristiwa, serta tata laku yang sedang terjadi di atas panggung.
Beberapa jenis instrumentalia atau gending yang sering digunakan, adalah:
1.      Gending Jaok, biasanya untuk mengiringi keluarnya seorang raja yang mempunyai karakter bawokan.
2.      Gending sekar Jambu, Rambat-rambat, dan Pesisiran, biasanya digunakan untuk mengiringi keluarnya tokoh-tokoh yang berkarakter bambangan dan putrid atau wadonan.
3.      Gending Bapang (Bapang Renteng), digunakan untuk mengiringi keluarnya tokoh patih dan kerabat kerajaan lainnya yang memiliki karakter putra madya/tengahan.
4.      Gending Gangsaran, Pelor atau Playon, digunakan untuk mengiringi adegan peperangan atau bodolan.
5.      Gending Ombang-ombang, adalah sebuah bentuk ilustraasi yang digunakan untuk melatarbelakangi dialog yang dilakukan oleh aktor di atas pentas.
6.      Gending Rageman, adalah sebuah bentuk musik untuk memberikan aksentuasi dalam mengiringi gerakan seorang tokoh (raja)  menuju tempat duduk atau singgasananya.
Beberapa jenis elemen pendukung instrumentasi yang setidaknya dibutuhkan dalam pertunjukan ini di antaranya:
Ø  Satu reong yang ditabuh oleh 4 (empat) orang
Ø  Satu buah pantus atau ugal ditabuh oleh 1(satu) orang
Ø  Empat buah saron yang masing-masing ditabuh oleh 1 (satu) orang
Ø  Dua buah peking yang masing-masing ditabuh oleh 1 (satu) orang
Ø  Satu buah calung ditabuh oleh 1 (satu) orang
Ø  Satu buah genjir atau jegogan ditabuh oleh 1 (satu) orang
Ø  Satu buah gong dan 1 buah kempul ditabuh oleh 1 (satu) orang
Ø  Satu buah ketuk ditabuh oleh 1 (satu) orang
Ø  Satu buah kecer/kecrek ditabuh oleh 1 (satu) orang
Ø  Dua buah kendang Bali (lanang dan Wadon) masing-masing ditabuh oleh 1 (satu) orang
Ø  Satu buah kendang daerah (Banyuwangi), biasanya dirangkap oleh seorang penabuh kendang Bali
Ø  Satu buah seruling (suling) ditiup oleh 1 (satu) orang yang biasanya merangkap dengan menabuh intrumen lain
D.    Vokal
Unsur vocal dalam pertunjukan ini memiliki peran yang sangat penting dalam rangka mengkomunikasikan isi gagasan, adegan, atau cerita yang dibawakan. Unsur vocal dalam hal ini dapat dibedakan atas 3 kategori, yakni:
1.      Dialog, adalah sebuah pembicaraan yang menggunakan rangkaian kata-kata oleh seorang tokoh atau lebih untuk menyapaikan isi gagasan, adegan, atau cerita yang sedang terjadi. Bahasa yang digunakan dalam dialog pada dasarnya menggunakan bahasa Jawa, dengan memperhatikan tataran atau tingkatan bahasa seperti lazimnya, yakni krama inggil, krama madya, dan ngoko. Krama Inggil digunakan untuk berbicara dengan orang yang paling dihormati, karma madya digunakan untuk berbicara dengan sesama dalam komunitas keningratan, dan ngoko digunakan untuk berbicara dengan sesama dalam komunitas rakyat jelata. Selain bahasa Jawa, pada hal-hal tertentu tidak bisa dipungkiri bahasa daerah (osing) selalu mewarnai karakter seni pertunjukan ini. Bila dilihat jenisnya, maka diaolog ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.       Bage-binage, dialog yang isinya mencerminkan etika dengan cara menyapa seseorang atau lebih untuk menanyakan nama, asal, khabar, dan lainnya.
b.      Rembug, adalah dialog yang mengarah pada pembahasan suatu masalah di antara tokoh atau peran yang terlibat
c.       Ngudarasa, adalah dialog yang dilakukan  seorang diri karena suatu masalah yang dihadapi
d.      Konflik, yaitu bentuk dialog yang berisikan pertentangan di antara 2 (dua) pihak atau lebih yang bertentangan pendapat
e.       Bercengkrama atau dagelan, dalam hal ini isi dialog tidak selalu terkait dengan cerita pokok, bentuknya bebas, dan sering dilakukan untuk komunikasi langsung dengan penontonnya.
f.       Dialog yang sifatnya lebih khusus, diantaranya adalah: mejang (member petuah atau amanah tertentu), ngesotaken (menjatuhkan balak), bersumpah atau berikrar, dan sebagainya.
2.      Tembang, adalah pembicaraan yang mengunakan lagu sebagai media penyampaian isi gagasan, adegan, atau ceritanya. Bila dilihat dari masud ungkapannya, tembang dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yakni: 1) tembang yang digunakan untuk berdialog, 2) tembang yang digunakan untuk dolanan (pelipur). Jenis tembang yang digunakan untuk berdialog, biasanya berorientasi pada tembang-tembang Jawa, misalnya sinom, pangkur, dandang gula, durma, kinanthi, pucung , mijil, megatruh, dan sebagainya. Adapun jenis tembang dolanan biasanya sering menggunakan lagu-lagu daerah (Banyuwangi) atau juga menggunakan tembang-tembang Jawa seperti tersebut di atas.
3.      Dhalang, adalah seseorang yang membantu menerjemahkan atau menjelaskan secara lisan gambaran-gambaran peristiwa yang akan atau telah terjadi di atas panggung. Bahasa yang digunakan dalam melantumkan vocal dhalang adalah bahasa Jawa. Ia tidak ditempatkan atau ditampilkan dalam tempat khusus melainkan berada wiliyah belakang panggung pertunjukan, terkadang dhalang dirangkap oleh pemain-pemain yang senior.
E.     Tata Rias dan Busana
Seperti halnya unsur-unsur yang lain, tata rias dan busana memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam usaha menghadirkan perbedaan tokoh maupun mendukung penonjolan karakter dalam pemeranan. Hal tersebut dapat dicapai dengan usaha  pemanfaatan simbol-simbol warna dan desain-desain busana, rias, dan pemanfaatan atribut yang dipasang pada seorang aktor.
Tata rias wajah dimaksudkan untuk membantu menciptakan karakter dalam rangka penonjolan seorang tokoh. Tokoh yang memiliki karakter bawokan, biasanya banyak menggunakan warna merah dikombinasi dengan hitam dalam menciptakan garis-garis wajahnya. Selain itu terkadang warna tersebut dikombinasi dengan warna putih sebagai penonjolan warna kontras. Bentuk-bentuk garis wajah yang dikombinasi dengan warna ini akan menghadirkan kesan lebih seram dan beringas. Pada karakter putra madya dan bambangan, warna merah hanya dipakai lebih tipis sebagai pemerah pipi yang sering digunakan di sekitar pipi atas sampai pada pelipis. Kesan yang diharapkan dari hal ini adalah kehalusan dan ketampanan wajah. Selain warna sebagai simbol munculnya karakter, kumis juga memiliki peran yang sama. Karakter bawokan biasanya menggunakan kumis yang tebal, putra madya menggunakan kumis relatif lebih tipis, dan bambangan hamper tak pernah ada, kalau toh ada biasanya hanya menggunakan kumis lemet (digambar tipis di atas bibir). Untuk peran putri atau wadonan biasanya menggunakan rias wajah cantik, kecuali bila ada tokoh khusus yang diperankan dalam cerita. Selain karakter yang telah disebutkan, masih banyak lagi bentuk-bentuk rias wajah yang secara khusus dilukis menyerupai perannya, misalnya raksasa, monyet, setan, dan sebagainya.
Pendekatan tata busana yang digunakan dalam pertunjukan ini bisa melalui pendekatan jenis cerita yang dilakonkan. Apabila cerita yang dilakonkan pakem, desain busananya juga menggunakan desain yang pakem; sebaliknya bila yang dilakonkan carangan, maka desain busananya disesuaikan cerita tersebut (biasanya melalui pendekatan kultur setempat). Berikut beberapa contoh busana yang digunakan pada cerita pakem:
1.      Tata busana untuk peran putra
Ø  Kolok atau irah-irahan
Ø  Dalung, adalah bentuk kalung kace diberi gulon ter
Ø  Kalung ulur
Ø  Rumpi atau baju rompi
Ø  Srembong atau sembong
Ø  Kain nayoko, yaitu kain penutup dada
Ø  Rapek
Ø  Cakepan tangan dan sikil
Ø  Baju lengan panjang
Ø  Celana panjang
Ø  Keris
Ø  Ubel kain panjang
Ø  Ebok atau sabuk besar
2.      Tata busana untuk peran putri
Ø  Kolok putri atau irah-irahan putri
Ø  Sempyok berbentuk panjang atau pendek
Ø  Kalung penanggal
Ø  Mekak atau juga klambi setali
Ø  Ebok atau sabuk
Ø  Sewek atau kain panjang
Ø  Gelang
Ø  Klat bahu (tidak pasti)
3.      Tata busan untuk peran dagelan
Ø  Iket Jawa Tengah atau blangkon
Ø  Baju, biasanya lengan panjang
Ø  Sewek atau kain panjang
Ø  Stagen
Ø  Celana panji
4.      Tata busana untuk peran emban
Ø  Sewek atau kain panjang
Ø  Stagen
Ø  Kemben
Ø  Gelung
Ø  Biasanya slendang
F.     Artistik/Pemanggungan
Sebagian besar kelompok seni pertunjukan Janger Banyuwangi sampai saat ini menggunakan peralatan tata panggung yang relatif lengkap, walau secara kualitas masih dalam kondisi yang relatif sederhana.
Panggung yang diguanakan berbentuk prosenium dengan ukuran lebih kurang 5m x 7m persegi, di antara tepi terdapat sebeng atau Side wing, dan di atas tergantung berbagai lukisan realis tentang lokasi peristiwa dalam adegan sering disebut dengan kelir yang tertup border atau plisir. Selain itu, pertunjukan Janger tidak dapat melepaskan kehadiran skeneri lainnya., misalnya sett panggung dan perabotan lainnya.
Kelir atau layar dalam pertunjukan ini memiliki beberapa macam, yakni:
1.      Kelir atau layar utama, biasanya berfungsi sebagai penunjuk identitas kelompok seni pertunjukan dan pemanis tampilan panggung. Masing- masing kelompok Janger memiliki corak gambar yang berbeda-beda, ada yang bergambar gunungan, candi, simbol Pemerintah Daerah, dan simbol kelompok masing-masing.
2.      Kelir babakan atau yang sering mereka sebut dengan drapsen,terletak tidak jauh dari kelir utama. Kelir ini berfungsi sebagai penanda pergantian adegan.
3.      Kelir adegan, berfungsi menjelaskan lokasi peristiwa yang sedang terjadi di atas panggung. Idealnya sebuah kelompok Janger memiliki 12 (dua belas) macam  kelir selain kelir utama dan babakan, yakni:
a.       Kedaton atau kerajaan, yang digambarkan dalam bentuk sebuah perdapa
b.      Trancang, gambar kedaton yang lerinya dilubang sesuai gambar
c.       Strat, gambar sebuah jalan dengan latar pemandangan sawah
d.      Tamansari, gambar keindahan taman
e.       Padepokan, gambar sebuah rumah dengan nuansa pedesaan
f.       Alas buntu, gambar hutan yang kelirnya tidak dilubang
g.      Alas growong, gambar hutan yang kelirnya dilubang
h.      Gua, gambar sebuah gua di pinggir hutan
i.        Mega, gambar awan atau angkasa
j.        Laut, gambar laut atau pantai
k.      Ireng, kelir tanpa gambar berwarna hitam
l.        Tile, kelir tanpa gambar dari kain klambu yang tembus pandang
Tata cahaya yang digunaka masih relatif sederhana dan tidak begitu rumit sifatnya. Bagi kelompok yang tidak memiliki cukup peralat tata cahaya, biasanya dalam mengatur sinar masih dilakukan sebagai penerang saja. Sebalik bila memiliki banyak perlengkapan mereka berupaya mencoba mengeksplor efek pencahayaan yang dimiliki.
Beberapa diketahui pada kelompok Janger ini tidak semua memiliki peralatan pengeras suara, kalau ada mungkin sangat sederhana sekali kondisinya. Biasanya peralatan pengeras suara ini disewa oleh empunya hajat dari pemilik persewaan secara khusus. Karakteristik pertunjukan ini banyak mengunakan mikrofon yang posisinya diletakan di wilayah panggung bagian atas secara tergantung, pada bagian musik juga membutuhkan mikrofon terutama untuk penabuh kendang.
V.    Penutup
Janger yang diduga sebagai kelanjutan dari pertumbuhan kesenian Gambuh, mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sejak abad XV-XVI ketika kerajaan Blambangan mampu menangkal pengaruh Islam, Gambuh tetap dilestarikan di sini. Dalam perjalanan selanjutnya Gambuh diboyong dan dilestarikan dikangan istana Bali. Sekitar abad XIX Gambuh tidak lagi dilestarikan oleh kalangan bangsawan, ia lebih banyak bergaul dengan kehidupan rakyat. Pada masa ini Gambuh juga masih berkembang di kalangan Masyarakat Banyuwangi, pada tahun 1918 secara remsi lahirlah kelompok seni pertunjukan yang Bernama Damarwulan Klembon
Perkembangan selanjutnya Damarwulan mengalami banyak perubahan yang disebabkan adanya pergaulan dengan seni pertunjukan lainnya, baik dari etnik Bali maupun Jawa. Terutama sejak tahun 1930-an, ketika Kabupaten Banyuwangi diserbu dengan masuknya kesenian dari luar wilayah Banyuwangi, lahirlah jenis kesenian yang sekarang terkenal dengan nama Janger. Walaupun terjadi berbagai perubahan dalam pertumbuhannya, apresiasi nilai masyarakat terhadap Janger mampu memberikan motivsi terhadap kontiunitas perkembangannya.
Akhirnya untuk mengetahui lebih jauh tentang kesenian Janger, dibutuhkan pengembaraan kajian yag lebih luas. Penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang belum dapat dijelaskan secara rinci tentang Janger ini, olehkarenanya diperlukan penelitian lebih lanjut. Mudah-mudahan dengan tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi perkembangan kesenian etnik secara menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Winarsih Partaningrat. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta: Ecole Francaise d’Extremme-Orient bekerjasama dengan Yayasan Bentang Budaya.
Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedi Tari Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI).
Bandem I Made.,Arthanegara, I Gusti Bagus., Rota, Ketut., Rindi, Ketut., Rembang, Nyoman., dan Geria, I Gusti Putu. 1975. Panitithalaning Pegambuhan. Denpasar: Proyek Pencetakan/Penerbitan Naskah-naskah Seni Budaya dan Pembelian Benda-benda Seni Budaya.
Bandem I Made., deBoer, Fredrik Eugene. 1981. Kaja and Kelod: Balinese Dance in Transition. Kuala Lumpur, Oxford, New York, and Melbourne: Oxford University Press
Brandon, James R. 1976. Theater in Southeas Asia. Cambridge, Massachusetts: Havard University Press.
Doubler, Magaret N.H. 1985. Tari: Pengalaman Seni Yang Kreatif. Diterjemahkan oleh Tugas Kumorohadi. Surabaya: Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian “Wilwatikta” Surabaya.
Holt, Claire. 1991. Seni di Indonesia: Kontinuitas dan Perubahan. Diterjemahkan RM. Soedarsono judul asli Art in Indonesia: Contiuities and Change. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan
Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, Kontemporer: Sebuah Studi Tentang Seni Pertunjukan Jawa. Diterjemahkan oleh Nin Bakdi Sumanto judul asli Clasic, Kitsch, or Contemporery: A Study of Javanese Performing Arts. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Noedian, BS. Tanpa tahun. Kesenian Jinggoan. Kertas kerja dibawakan pada: Sasasehan/Pelatihan Insan Pariwisata Dalam Upaya Melestarikan dan Mempromosikan Seni Budaya Tradisional Using.
Padmodarmaya, Pramana. 1983. Tata Teknik Pentas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktoral Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan.
Pigeaud, Th. 1991 Pertunjukan Rakyat Jawa: Sumbangan Bagi Ilmu Antropologi. dialihbahasakan oleh Muhamad Husodo Pringgokusumo. Judul asli Javaanse Volksvertoningen: Bijdrage tot de beschrijving van land en volk. Solo: Perpustakaan Rekso Pustoko Istana Mangkunegaran.
Sachari, Agus. 1989. Estetika Terapan: Spirit-spirit yang Menikan Desain. Bandung: Nova
Sahman, Humar. 1993. Estetika: Telaah Sistemik dan Historik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Sahuni. Tanpa tahun. Kesenian Daerah Damarwulan. Sebuah naskah dari Sanggar Tari Sidopaksa di Singojuruh Kab. Banyuwangi.
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
_______. 1992. Sistem Kesenian Nasional Indonesia: Sebuah Renungan. Jakarta: diucapkan pada pidoto upacara pengukuhan Guru Besar tetap Fak Satra Universitas Indonesia.
Soedarsono, RM. 1979, Hubungan dan Pengaruh Tari Jawa Terhadap Tari Bali: Laporan Penelitian. Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia, Proyek pengembangan Institut Kesenian Indonesia.
Soeratma alias Raden Soera Wijaya. 1907. Gandroeng lan Gamboeh. Batawi: Kangdjeng Gouvernement.

2 komentar:

  1. untuk penyebaran saat ini kok gak terperinci ya? kelestarian janger untuk saat ini sudah sampai daerah mana gitu

    makasih sudah membagi infonya dan membantu banget ngerjain tugas seni saya

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.