Senin, 04 Juli 2011

Metode Pembelajaran Seni


METODE PEMBELAJARAN KESENIAN
DI SEKOLAH DASAR JENJANG SEKOLAH DASAR
Oleh Peni Puspito
A.    Pendahuluan
Pendidikan Seni Budaya adalah istilah baru yang muncul dalam kurikulum pendidikan seni di sekolah kita pada saat ini. Karena merupakan istilah yang baru, maka banyak sekali guru-guru kesenian kita yang masih belum akrab dan bahkan meraba-raba dalam memberikan materi Pendidikan Seni Budaya ini kepada peserta didiknya. Hal ini tercermin dari beberapa satpel yang dibuat oleh para guru (walau Pendidikan Seni sudah berubah menjadi Pendidikan Seni Budaya) masih relative tidak ada perbedaan dengan yang lama dalam menentukan tujuan ataupun kompetensi dasar pembelajarannya. Selanjutnya pertanyaannya, kalau dari sisi materi tidak berbeda perlukah muncul istilah Pendidikan Seni Budaya dalam kurikulum sekolah kita?
Sejak Orde Baru, pendidikan kesenian yang syarat dengan pendidikan moralitas, etika atau apa pun yang bersifat pelestarian atau pengembangan nilai-nilai luhur budaya bangsa di sekolah kita nyata terlihat dikesampingkan, karena pemerintah pada saat itu sangat konsen terhadap pendidikan yang berorientasi pada teknologi atau pun eksak. Sampai saat ini pun (walau sudah jelas Pendidikan Seni masuk dalam kurikulum intra di sekolah) tidak sedikit Kepala Sekolah yang belum menyelenggarakan Pendidikan Seni sebagai pendidikan yang sangat penting dikembangkan untuk anak didiknya. Pemahaman tentang tidak pentingnya pendidikan seni di sekolah semacam  ini bukan saja berkembang di lembaga-lembaga pendidikan kita, tetapi masyarakat pun juga tidak sedikit yang kena virus semacam ini; yakni, menganggap bahwa pendidikan seni itu tidak memiliki kontribusi atau peran penting bagi kehidupan manusia di masa depan. Seni dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan hidup manusia, tidak bisa membuat orang menjadi kaya, tidak bisa menjamin status seseorang, dan masih banyak lagi alasan yang bisa dikemukakan. Mereka telah terjebak dengan pemahaman bahwa, orang yang pandai hanyalah orang-orang yang mengerti dan menguasai bidang eksak dan teknologi, sedangkan bidang kesenian dianggap sebagai sekumpulan orang yang sangat termarginalkan.
Pada kenyataannya (bila kita perhatikan secara seksama) saat ini perkembangan kesenian kita baik dalam konteks pendidikan atau keseniamanan relative belum mampu memberikan kontribusi secara signifikan terhadap perkembangan budaya kita. Lantas kalau hal ini benar, kemudian siapa yang harus dipersalahkan? Lembaga Pendidikan? Kepala Sekolah? Guru? Seniman? Masyarakat? Pemerintah? Peserta didik? Sistem Pendidikan? Atau yang lain? Rupanya tidak perlu kita mempersalahkan satu sama lain, karena semua ini tentunya akan saling mengkait seperti lingkaran setan, oleh karenanya dalam menyelesaikan persoalan ini kata orang bijak marilah kita introspeksi terhadap diri kita masing-masing.
B.     Pendidikan Seni Budaya
Kita setidaknya sedikit merasa lega ketika Pendidikan Seni masuk ke dalam kurikulum intra di sekolah, walau mungkin bila dilihat dari jumlah jam yang dialokasikan atau disediakan tampaknya belum cukup memadai secara ideal. Mengapa demikian, karena dari jam yang disediakan, dirasa tidak sebanding dengan materi yang ingin disampaikan oleh seorang guru. Di sini guru dituntut untuk menyampaikan berbagai cabang kesenian, seperti: seni tari, seni musik, seni drama, seni rupa dan kerajinan. Untuk membahas salah satu cabang seni saja, mungkin waktu yang disediakan belum tentu bisa tuntas apalagi membagi waktu untuk berbagai cabang seni tersebut. Lalu, kalau masalahnya demikian apakah perlu kita berbondong-bondong menghadap ke Menteri Pendidikan Nasional guna meminta tambahan jam untuk matapelajaran Pendidikan Seni di sekolah?
Sebelum pelajaran seni budaya ini masuk dalam kurikulum di sekolah, banyak sekali sekolah-sekolah yang tidak mau peduli terhadap pendidikan kesenian. Kalau toh ada yang peduli, tak pernah mau berusaha untuk mencari guru pamong yang memiliki kompetensi di bidang studi ini, sehingga kualitas pembelajarannya akan semakin bagus Pelajaran seni rupa diangap dapat mewakili matapelajaran kesenian, karena secara teknis cabang seni ini memang tidak merepotkan penyelenggara pendidikan. Oleh karenanya hampir disemua sekolah matapelajaran seni cukup diwakili dengan pelajaran seni rupa dan ketrampilan, sedangkan seni lainnya nyaris tidak pernah menjadi pertimbangan untuk dikembangkan di sekolah. Ironisnya bila ada salah satu sekolah yang ingin memaksa hadirnya seni pertunjukan disekolah, diambilah guru (seni rupa atau yang lebih parah guru olahraga , matematika, dan mungkin bahasa Inggris) yang sekiranya memiliki ketrampilan di bidang seni tersebut dibebani untuk mengajarnya, sehingga dalam hal ini kompetensi guru secara kualitas perlu dipertanyakan. Adalagi sekolah yang sudah memiliki guru kesenian (seni pertunjukan), tetapi tidak pernah di beri tanggungjawab mengajar kesenian (justru diberi jam untuk mengajar Bahasa Daerah, Indonesia dan lainnya)  karena sekolah tidak punya kehendak untuk memasukan matapelajaran seni dalam pendidkan di sekolahnya.
Gambaran kondisi semacam ini tentunya sangatlah menyedihkan bagi orang yang berkecipung dan memahami seberapa jauh dampak pendidikan kesenian dalam kehidupan masyarakat dan bermasyarakat. Ketika masyarakat sudah mulai menunjukan ekspresinya melalui acam mengancam atau demontrasi dengan laku yang anarki, orang mulai mengkaitkan masalah pendidikan etika dan estetika sebagai salah satu biang keladi yang harus bertanggungjawab. Kenapa demikian, karena disinyalir ada keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan kesenian dengan sikap moral seseorang.
Munculnya matapelajaran Seni Budaya di sekolah merupakan sebuah pemikiran yang sangat tepat (kalau tidak mau dikata terlambat), dimana pada saat ini masyarakat kita sudah mulai menunjukan situasi krisis multidemensi termasuk di antaranya kebudayaan. Pendidikan kesenian harus mampu memiliki kontribusi positif terhadap perkembangan kebudayaan kita (atau setidaknya aspek moralitas bangsa). Apabila dulu pendidikan seni kita terlalu konsen terhadap masalah-masalah bentuk dan teknik belaka, maka saat ini haruslah merubah cara pandang dengan memperdalam jangkauan pembelajaran seni melalui perspekti yang lebih luas, yakni kajian terhadap nilai-nilai historis, filosofi, etika/moral, dan keindahan. Pendidikan Seni Budaya adalah sebuah matapelajaran yang diharapkan mampu memberikan pembelajaran seni melalui perspektif kebudayaan seperti tersebut.
C.    Pendidikan Seni Budaya Sebagai Bidang Studi di Sekolah
Seperti telah dikemukakan pada awal tulisan ini, bahwa matapelajaran Seni Budaya merupakan istilah baru yang muscul dalam kurikulum kita saat ini. Bila dibandingkan dengan istilah matapelajaran pendidikan seni (kesenian) yang dulu juga pernah muncul dalam kurikulum tentunya memiliki makna yang berbeda. Perbedaan yang mencolok di sini adalah munculnya istilah atau kata budaya, sehingga makna pengertiannya menjadi sangat berbeda; dan tentunya perbedaan ini harus tercermin sampai pada implementasi tujuan, strategi atau proses pembelajarannya.
Kalau tidak salah, sampai saat ini belum ada panduan yang secara spesifik menjelaskan bagaimana yang baik (benar) dalam peaksanaan pembelajaran Seni Budaya ini, dan bahkan sejauh mana tuntutan standart kompetensi yang ideal diperlukan untuk mata pelajaran ini. Walau dalam kurikulum telah menyebutkan standart kompotesi yang hendah dicapai, namun tugas seorang guru masih dibebani lagi untuk berlaku kreatif dalam menafsirkan segala kemungkinan yang terjadi dalam pengembangannya. Hal ini sangat berbeda dengan mata pelajaran ilmu pasti, semuanya telah dijabarkan secara jelas dan pasti. Apakah pelajaran seni budaya juga akan dibuat seperti ilmu pasti? Tentunya tidak karena dalam matapelajaran seni budaya memiliki karakter yang sangat khas untuk dapat dikembangkan dalam proses pembelajarannya. Dalam hal ini tentunya diperlukan proses dialogis antara sesame guru Seni Budaya dalam rangka menyamakan persepsi matapelajaran ini.
Bila dilihat secara substansial, pendidika seni dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yakni:
1.      Pembelajaran seni yang mengarahkan semua aspek kompetensi matapelajaran menuju pada kemampuan peserta didik untuk dapat melakukan atau terampil secara teknik tentang seni yang diajarkan. Harapannya setelah peserta didik itu terampil, dapat melestarikan (mewarisi) dan mampu mengembangkan kesenian tersebut. Pembelajaran semacam ini biasanya dilakukan oleh lembaga pendidikan yang secara khusus mencetak peserta didiknya untuk menjadi seniman atau sejenisnya secara professional, misalnya di sekolah tingkat menengah ada SMKN 9 (dulu SMKI), di tingkat perguruan tinggi ISI, STSI, STKW Surabaya dan sebagainya.
2.      Pembelajaran seni yang tidak terlalu menuntut peserta didiknya menguasai secara teknik tentang kesenian yang dipelajari, namun lebih mengarah pada pembelajaran dengan menggunakan media seni sebagai pendekatan tercapainya pendidikan secara umum. Dalam hal ini pendidikan seni semata-mata tidak untuk kepentingan seni itu sendiri, melainkan mengarahkan pada pencapaian keseimbangan antara aspek emosional dan rasional, serta aspek kognitif, afektis, dan psikomotorik peserta didik. Jenis pendidikan seni semacam ini mungkin lebih cocok untuk lembaga pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMU dan sejenisnya.
Dalam rangka memperjelas kompetensi yang akan dibuat dalam pembelajaran seni, tidak ada salahnya bila terlebih dahulu seorang guru memahami fungsi dari pendidikan seni. Ada beberapa fungsi pendidikan seni, di antaranya:
1.      Sebagai media bermain dan berekspresi, diharapkan peserta didik dapat memperoleh pengalaman yang bersifat rekreatif, mau dan mampu menuangkan ekspresi jiwanya dalam rangka menunjukan eksistensi kepribadiannya.
2.      Sebagai media pengembangan bakat dan kreativitas, artinya selain dapat digunakan sebagai wahana dalam mengembangkan bakat (kemampuan bawaan) juga sebagai media pengembangan kemampuan daya cipta peserta didik.
3.      Sebagai media komunikasi, yakni dengan kegiatan berkesenian baik melalui proses kreatif maupun bentuk kekaryaannya  dapat membangun pengalaman komunikasi antara individu dan masyarakat/lingkungan atau sebaliknya.
4.      Sebagai media membangun sensitivitas etik dan estetik, merupakan pembelajaran seni yang diarahkan pada kepekaan peserta didik terhadap kaidah-kaidah nilai etika dan estetika yang terkandung dalam sebuah kesenian
5.      Sebagai media pengembangan pengetahuan, karya seni yang diciptakan oleh manusia ternyata bukan sekedar memiliki nilai-nilai emosional semata, namun juga memiliki daya rasionalitas yang kuat. Berbagai produk kesenian tercipta atas pengetahuan seseorang terhadap fenomena segala kedihupan yang ada di alam semesta ini. Oleh karenanya masih sangat relevan bila pendidikan kesenian dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan.
Terkait dengan materi pembelajaran seni di sekolah, biasanya kita dapat memisahkan ke dalam 3 (tiga) wilayah bahasan, yaitu:
1.      Wilayah pengetahuan Seni
Merupakan wilayah pembelajaran yang banyak mengasah atau melatih peserta didik untuk mengembangkan aspek kognitifnya. Kemampuan kritis menelaah karya seni dan permasalahannya menjadi topik yang sangat penting dalam pembahasan materi  pembelajarannya. Pendekatannya bisa dilakukan melalui konsep pendekaatan lintas disiplin, misalnya sejarah, social, budaya, filsafat, dan sebagainya.
2.      Wilayah apresiasi seni
Wilayah ini memiliki kecenderungan untuk mengantarkan peserta didik pada perkembangan ranah afektifnya. Kegiatan apreseasi seni ini, biasanya berkait dengan kegiatan pengamatan karya seni yang kemudian dilanjutkan dengan penilaian. Jenis apresiasi ada yang bersifat aktif dan ada pula yang dilakukan secara pasif. Pengamatan aktif artinya kegiatan pengamatan karya  yang kemudian dilanjutkan dengan sikap kritis yang dapat memacu melahirkan karya-karya inovatif dan juga menubuhkan rasa cinta seseorang, sedangkan yang pasif hanya sekedar mengamati karya dan selanjutnya lepas dari agannya
3.      Wilayah pengalaman kreatif
Kecenderungannya merupakan kegiatan pembelajaran yang berkenaan dengan cara-cara dalam melakukan proses kreatif atau pembuatan karya seni. Sasaran pembelajarannya lebih mengarah pada ranah psikomotorik. Dalam wilayah ini hal yang perlu dipersiapkanuntuk siswa adalah kemampuan mengembangkan gagasan, interpretasi, imaginasi, dan menangkap fenomena lingkungan sebagai sumber tema; penguasaan teknik serta pengetahuan berbagai media dan teori komposisi; serta kemampuan memanage sebuah pameran atau pertunjukan.
Dari ulasan di atas, kemudian pendidikan seni budaya di sekolah perlukah diarahkan pada konsep pendidikan yang berorientasi kepada ketrampilan teknik yang pada akhirnya peserta didik diharapkan mampu sebagai pewaris dan pengembang kesenian kita? Sebagai matapelajaran di sekolah umum tentunya berat sekali. Banyak para guru yang merasa stress ketika anak didiknya tidak mampu melakukan teknik dengan baik yang akhirnya pada setiap ada kegiatan yang dinominasikan tidak pernah meraih nominasi. Indikasi semacam ini menunjukan bahwa kita sebagai guru seolah memelihara sifat arogansi kita dengan mengeksploitasi anak didik untuk kepentingan pribadi (kadang mengatasnamakan kepentingan lembaga). Oleh karenanya konsep pendidikan seni budaya di sekolah sebaiknya mengadopsi teori bahwa pendidikan seni adalah pendidikan yang menggunakan seni sebagai media untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum, wilayah pembelajarannya lebih ditebalkan pada pengembangan aspek Kognitif dan Afektif, sedangkan psikomotoriknya walau menjadi tuntutan namun tidak terlalu menghalangi siswa untuk belajar seni budaya.
D.    Lesson Study Sebagai Alternatif  Pendekatan Kegiatan Pembelajaran Seni Budaya di Sekolah
Akhir-akhir ini perkembangan pendidikan kita sudah mengalami percepatan peningkatan kualitas.  Hal ini terjadi setelah berbagai peristiwa yang dialami bangsa kita mulai menerima dampak dari system pendidikan yang tidak pernah diurus secara serius oleh pemerintah selama ini. Peristiwa keberanian seorang siswa mengacam pengawas UAN beberapa waktu lalu jelas turut andil dalam mencoreng system pendidikan kita. Tonggak keseriusan pemerintah dalam tanggungjawabnya terhadap pendidikan di Negara ini adalah dengan dinaikannya anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 20% serta telah disahkannya undang-undang tentang guru dan dosen. Berbagai upaya yang mengarah pada peningkatan kualitas mutu pendidikan telah banyak dilakukan oleh pemerintah melalui proyek-proyek yang diberikan kepada lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini.
Perubahan-perubahan paradigma dalam pendidikan telah banyak dilakukan, implementasi yang sangat dapat kita rasakan sebagai guru kesenian adalah lahirnya bentuk kurikulum yang dikenal dengan KBK dan kemudian dikembangkan lagi menjadi KTSP. Karakteristik dari kurikulum ini adalah berorientasi pada konsep pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan Dari sini pula kemudian lahir berbagai strategi pembelajaran yang dianggap lebih optimal untuk memudahkan siswa mengikuti proses belajar mengajar di sekolah. Dalam hal ini kemudian dapat kita ketahui bahwa pendekatan pembelajaran yang dulu lebih menggunakan pendekatan behavioritik, sekarang berkembangan menjadi konsrtuktivitik. Ini karena faham konstruktifvistik dianggap lebih unggul dalam memcahkan persoalan proses belajar mengajar disekolah.
Usaha-usaha pembenahan system, strategi, metode atau apapun namanya dalam pembelajaran, banyak dilakukan oleh para pakar melalui lembaganya masing-masing. Hal ini merupakan sebuah reaksi dari anggapan bahwa tidak ada pembelajaran yang sempurna. Belum lama ini Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan di Bandung (UPI) mencoba mengembangan sebuah kegiatan pembelajaran yang diadopsi dari Jepang disebut dengan Lesson Study. Dari beberapa lembaga pendidikan yang telah mencoba mengembangkan kegiatan ini memberikan tanggapan yang positif terhadap peningkatan mutu pendidikan. Latar belakang munculnya bentuk ini, merupakan reaksi kritis dari para pakar tentang belum tercapainya peningkatan kualitas mutu pendidikan yang ideal.
Lesson Study adalah sebuah model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkesinambungan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual untuk membangun komunitas belajar. Adapun tujuan yang ingin dicapai, meliputi: 1) Ditemukan berbagai model pembelajaran, 2) tercapainya komunitas belajar, 3) Terbentuknya kesetaraan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran.
Bentuk pelaksanaan kegiatan ini meliputi 3 (tiga) komponen, yakni:
1.      Perencanaan (plan). Guru, dosen atau pakar/seniman atau siapa yang dipandang memiliki keahlian dibidang yang sama, berkolaborasi rencanakan sebuah kegiatan pembelajaran yang terfokus pada siswa.
2.      Implementasi (do). Seorang guru memperagakan model pembelajaran yang sudah direncanakan, sementara guru yang lain, kepala sekolah, pakar/seniman, pengawas dari dinas, atau bahkan orang tua wali melakukan observasi pembelajaran di kelas, terutama untuk mengetahui aktifitas siswa berupa interaksi siswa-siswa, siswa-bahan ajar, siswa-guru selama proses belajar mengajar  berlangsung.
3.      post-class discussion (see). Setelah proses belajar mengajar selesai, guru dan observer melakukan diskusi untuk bertukar pengalaman setelah melakukan observasi. Diskusi bisa dipimpin kepala sekolah, guru menyampaikan kesan-kesannya selama melaksanakan pembelajaran, selanjutnya observer menyampaikan saran-saran untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Setelah itu, pada akhir semester dilakukan kegiatan Seminar  untuk berbagi pengalaman dalam menerapkan lesson study.
Model kegiatan semacam ini tampaknya bisa digunakan sebagai salah satu alternative pembelajaran Seni Budaya di sekolah, mengingat bahwa karakteristik wilayah budaya kita sangat beragam; sekaligus akan membantu keberagaman kompetensi yang dimiliki guru bidang studi Seni Budaya ini.
E.     Penutup
Sebagai matapelajaran baru, Pendidikan Seni Budaya harus mampu membangun pardigma baru pendidikan kesenian yang mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan budaya masyarakatnya. Untuk itu ke depan diperlukan usaha-usaha kreatif inovatif dalam mengembangkan strategi atau model-model pembelajaran sesuai dengan karakteristik yang dimiliki, sehingga Pendidikan Seni Budaya mampu berperan dalam kehidupan masyarkatnya.
Demikian tulisan yang dibuat dengan sangat singkat, padat, dan dangkal ini dapat bermanfaat bagi kita semua.





DAFTAR PUSTAKA



Hamzah B. Uno. 2008. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Muslimin Ibrahim. 2000. Mengajar Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA University Press.

Muslimin Ibrahim, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA University Press.

Soeparman Kardi, Mohamad Nur. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya: UNESA University Press.

Sumar Hendayana, dkk. 2006. Lesson Study: Satu Strategi Untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik. Bandung: UPI Press

1 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.