Kamis, 07 Juli 2011

koreografer dalam persoalan global

KOREOGRAFER
DALAM  PERSOALAN GLOBAL
Oleh: Peni Puspito
A.    Pendahuluan
Perkembangan budaya manusia saat ini semakin menunjukan gejala yang sangat komplek. Hal ini terjadi setelah manusia mampu menciptakan system transportasi dan komunikasi yang semakin canggih. Sekat-sekat budaya dari demensi ruang dan waktu bukan lagi menjadi kendala untuk kemungkinan terjadinya interaksi budaya. Akibatnya system budaya yang dikembangkan pada generasi pewaris tidak lagi mampu dipertahankan keberadaannya dan pada akhirnya akan merubah paradigma nilai-nilai tradisi yang telah lama dibangun generasi pendahulunya. Isu inilah yang kemudian menarik untuk dijadikan lahan kajian para pakar yang sampai saat ini disebut-sebut dengan multikulturalisme.
Dalam konteks ini, persoalan-persoalan pluralitas, diversitas, dan atau keberagaman menjadi penting kedudukannya; di sisi lain yang tidak kalah pentingnya dalam membahas kajian tersebut adalah menyangkut kesatuan, ketunggalan, dan keseragaman. Dikotomi ini biasanya kemudian muncul secara bersamaan sebagai landasan berpikir untuk mengupas topic yang berkaitan dengan multikulturalime tersebut. Sebagai akibat gejala pertumbuhan budaya, persoalan ini juga membias pada pro dan kontra terhadap pelestarian tradisi dan modernitas seperti yang dikatakan oleh Chua Soo Pong (1998: 54), bahwa: “Tantangan kultur masa depan dalam konteks ini dikaitkan dengan krisis radikal modernitas; dilemma antara melestarikan tradisi atau memburu lahan kultur baru”.
Untuk membingkai pembicaraan ini, saya tidak ingin mengupas persoalan di atas, namun mencoba melihat sebuah realita yang pernah saya ketahui selama ini terutama berkaitan dengan aspek koreografer dalam perjalanannya mengarungi kehidupan keseniannya dalam dunia yang global.
B.     Koreografer Kita Dari Ekspresi Komunal ke Individual
Istilah koreografer di kalangan dunia tari kita sebetulnya relative belum lama munculnya. Kesenian terutama tari secara spesifik berdiri sendiri sebagai cabang kesenian juga relative belum lama. Hal ini tentunya ada kaitannya dengan perkembangan atau sejarah budayaan masyarakat kita. Ketika masyarakat kita masih erat dengan system kehidupan agraris semua kegiatan budaya (seni pertunjukan – termasuk tari) pada umunya tidak dapat terlepas dari konteks kehidupan berbudayanya. Karena kesenian pada saat itu di klaim sebagai milik komunal, maka apapun alasannya tidak pernah seseorang berani menyatakan bahwa kesenian tersebut miliknya secara individual. Hal ini bukan berarti tidak ada seorangpun dalam komunitas kesenian yang melakukan aktivitas kreativ, namun semua kreativitas yang dibangun/diciptakan disumbangkan, dilebur ke dalam sebuah proses berkesenian yang pada akhirnya menjadi produk ekspresi komunitas atau kelompok; sehingga tidak jarang ditemukan karya-karya seni tradisional kita seolah tak bertuan atau tidak muncul nama-nama kreatornya.
Di keraton atau istana sebagai sentra kebudayaan pada zamannya seorang raja telah mulai berani menyebut nama sebagai penggubah karya seni pertunjukan, walau sesungguhnya karya tersebut dikreasi oleh para abdi dalemnya. Hal ini seorang raja sebagai penguasa sekaligus maesenas tentunya memiliki tujuan-tujuan politis.
Setelah zaman kemerdekaan perkembangan budaya mulai dapat dirasa, keberanian atau kesadaran seseorang untuk mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat mulai tampak, walau belum begitu dapat dirasa untuk pertumbuhan seni pertunjukan terutama seni tari.
Peng-klaiman sebuah karya tari oleh seorang penata atau koreografernya, mulai dapat dirasa ketika Bagong Kusudiardjo dan Wisnu Wardhana pulang dari belajar tari di Amerika sekitar tahun 70-an. Keduanya sudah mulai memberanikan diri penyatakan sebagai pencipta tari atau koreografer dari karya-karya yang telah diciptakan. Demikian juga peran sekolah-sekolah tari yang munculnya pada sekitar tahun yang tidak terlalu jauh. Lahirnya lulusan sekolah-sekolah ini juga telah tidak canggung lagi untuk menyebut karya-karya tari yang telah diproduksinya.
Ketika industrialisasi mulai masuk sebagai pola kehidupan di negara kita, mau tidak mau sangat mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kesenian kita. Hak cipta atau hak paten sebagai bagian dari konsep industrialisasi tidak lagi hanya dikembangkan dalam dunia fisika dan teknologi saja, ia mulai menjalar dalam kehidupan kesenian kita. Dalam kaitannya dengan pengakuan ekspresi individual dianggap sebagai proteksi yang dapat memperkuat hak kepemilikian kreasinya.
Dari gambaran tersebut di atas, setidaknya kita ketahui bahwa seni (tari) sebagai ekspresi individual relative belum lama membudaya di lingkungan kita. Hal ini sangat erat hubunganannya dengan pola kehidupan masyarakatnya.
C.     Koreografer Jawa Timur Dalam Perpaduan Budaya ?
Propinsi Jawa Timur menunjukan wilayah yang sangat khas dan unik, ini disebabkan adanya berbagai wilayah budaya yang dimiliknya. Selain memiliki wilayah budaya yang beragam, Jawa Timur juga hidup dalam pergaulan budaya yang beragam pula baik ditinjau dari tataran nasional atau internasional. Dari kondisi semacam ini mungkinkah koreografer kita masih hidup dalam lingkungan yang tertutup dan tetap mempertahan etnisitasnya? Jelas bahwa koreografer di Jawa Timur mau atau tidak, akan masuk dalam konstelasi budaya yang selalu berinteraksi dengan etnik-etnik lainnya.
Menurut Dieter Mack (1998:28-29) ketika terjadi perpaduan dua budaya, maka lahir istilah peranak dan silang budaya. Silang budaya terutama yang mengacu pada latar belakang seniman dan karya seni yang memiliki dua akar budaya atau lebih; sedangkan peranakan sebuah istilah biologi merujuk pada upaya pencangkokan dan perbaikan antara dua tanaman. Maka pengertiannya pada ranah seni lebih merujuk pada proses saling pengaruh unsure tertentu dengan sifat yang jelas tetapi berbeda, berpadu atau bahkan saling menekan. Sedangkan sifatnya selalu hadir kuat pada masing-masing tubrukan-sekalipun di dalam paduan atau penampakannya terlihat tidak seimbang.
Kenyataanya, diakui atau tidak hal ini sering saya jumpai pada hasil karya koreografer di Jawa Timur. Misalnya  pada bulan Agustus yang baru lalu, saya diundang untuk berbicara dalam kegiatan Pelatihan Bagi Koreografer di Kabupaten Sumenep. Sebelum saya menyajikan makalah, diawali oleh penyaji local dari Sumenep. Pada saat itu disajikan sebuah contoh karya tari yang telah berhasil disusunnya dalam tayangan video. Setelah saya melihat tayangan karya tersebut, ada fenomena yang cukup menarik, yakni susunan gerak dalam koreografi tersebut sudah sering saya lihat terutama pada koregrafi yang disusun oleh seniman-seniman di Surabaya.
Di Malang ada seorang winarto yang kehidupan berkeseniannya dilatari oleh kesenian tradisi (Malangan) dan digembleng pada sebuah Sekolah Tinggi di Surakarta yang nota bene juga sangat kental dengan bentuk-bentuk tari tradisi (etnis Surakarta). Pada waktu yang baru lalu, ketika mengikuti audisi pada Festival Seni Surabaya telah melahirkan sebuah karya tari dengan pendekatan teknik gerak tari yang sangat jauh dengan budaya yang selama ini ia tekuni.
Sri Mulyani yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur untuk menjadi duta dalam Festival Karya Tari di Jakarta pada bulan Agustus yang baru lalu juga telah berhasil melahirkan karya tari yang system produksinya dibangun secara kolektif dan kolaboratif. Karya yang dihasil mencerminkan usaha memadu berbagai cita rasa tradisi Jawa Timur dengan tidak terikat pada kualitas etnik tertentu.
Ketiga contoh di atas (mungkin masih banyak yang lain) merupakan sebuah gambaran fenomena pertumbuhan koreografer kita dalam rangka mencoba untuk menembus ruang-ruang alternative dalam berekspresi dalam rangka pergaulan budaya (intraculturalisme atau interculturalisme). Ciri khas Dalam sebuah kolase budaya semacam ini menurut pavis seperti dikutip oleh Sal Murgiyanto (1998: 64) bentuk-bentuk dan trknik-teknik tarian tradisional dipakai tanpa melihat fungsi etnologisnya dalam kebudayaan aslinya. Dan tampaknya forum-forum festival, pelatihan, apresiasi, serta kegiatan yang bersifat kolaboratif dapat memacu percepatan  proses silang budaya di Jawa Timur.
D.    Menatap Perkembangan Global
Globalisasi telah merambah pada seluruh sendi kehidupan masyarakat  dimanapun ia berada. Tak seorang pun dapat membendung pertumbuhan yang namanya globalisasi. Hal-hal yang dulunya tidak pernah kita lihat, sekarang secara cepat berada di sisi kita. Proses globalisasi ini kemudian memungkinkan terjadinya berbagai macam silang budaya atau bahkan benturan budaya.
Seperti yang telah dikatakan di depan bahwa secara khusus tantangan budaya di masa yang akan datang selalu dikaitkan dengan persoalan modernisasi dan tradisi. Sementara dalam pandangan multikuturalisme ada konsep penciptaan karya seni yang berkembang pada diri kreator (koreografer), yakni konsep radikal kemandirian, mencipta budaya sendiri dari hasil belajar budaya lain, dan budaya peradaban kapitalistik isdustrialisasi. Konsep radikal kemandirian ini biasanya berakhir pada bentuk sikap yang tidak lagi mepedulikan budaya, dan mungkin terwujud dalam bentuk-bentuk karya yang bernuansa post modern; sementara jenis yang kedua ini lebih mencerminkan produk-produk yang bernuansa silang budaya; sedangkan yang ke tiga adalah karya-karya seni yang orientasinya pada keuntungan secara financial.
Berkait dengan masalah ini saya akan merujuk pendapat Chua Soo Pong perihal tantangan global yang identik munculnya persoalan nyata saat ini.
Uang, pada kenyataannya sebagian besar seni pertunjukan berkembang menjadi bentuk-bentuk hiburan dan komoditi komersial. Sebagai komoditi komersial, maka para pekerja seni akan memiliki arti baru sebagai pencetak uang. Dulu dukungan financial semacam ini lebih sebagai bentuk patronasi. Bila pemburuan financial ini selalu dikejar, pekerja seni semacam ini akan terjebak kepada tuntutan penonton semata, tidak dapat dengan bebas memenuhi tuntutan idealisme berkeseniannya. Pada akhirnya apakah betul uang dapat membebaskan persoalan dan atau justru akan membelenggu proses kreatifnya.
Teknologi, kecenderungan penyajian pertunjukan tertentu dilakukan dengan selalu dengan menghadirkan teknologi. Padahal bila itu dilakukan justru dapat menhilangkan ciri khas dari pertunjukan tersebut dan akhirnya tidak lagi menyerupai apa yang diinginkan. Bila terjadi semacam ini apakah ini sebuah kemajuan atau kemunduran?
Profesionalisme, banyak seni pertunjukan amatir yang diarahkan untuk jadi professional dengan mengajarkan efektivitas serta mengangkat prestos. Di sisi lain akan mengikis daya hidup seni amatir dengan tidak lagi mampu membangun patronasi dengan masyarakatnya. Apakah betul hal ini dianggap pengembangan jutru bukan penyempitan?
Kolaborasi, ini dipandang sebagai piranti potensial dalam sebuah pertunjukan, karena para pekerja seni akan dapat melakukan kompromi sekaligus mencampuradukan bentuk-bentuk seni. Betulkah ini dianggap sebagai memperkuat atau justru memperlemah?
Peminjaman, pada saat para pekerja seni mudah melintas batas budaya, wajar bila mereka selalu meminjam motif, material, atau konsep dari mana saja dalam rangka menyuntikan kreativitasnya. Bila hal ini dilakukan kemungkinan besar mereka akan kehilangan ciri khas identias dirinya; sehingga dalam persoalan ini bukan pengembangan yang didapat tapi justru akan pengaburan.
Kebudayaan, kehidupan kota yang telah merubah seni sebagai bagian inheren dalam kehidupan menjadi seni sebagai kesenangan. Penjualan tiket dalam jumlah tertentu atau menciptakan ruang-ruang tertentu dapat menciptakan sekat-sekat yang berbentuk elitisme seni dan hanya masyarakat tertentu yang dapat menikmatinya. Pada akhirnya seni tidak lagi dimiliki masyarakat secara komunal.
Identitas, warisan budaya sebagai identitas nasional penting dilindungi dan seharusnya mendapat support dana dan dukungan penonton, namun kenyataanya sebaliknya. Kesenian dari barat atau yang dibaratkan mendapat dukungan yang lebih besar. Apakah ini menunjukan budaya tradisional sebagai budaya inferior dan barat atau yang dibaratkan adalah superior.
Dari ketujuh kenyataan ini jelas-jelas sangat mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi proses kreatif kita. Dan yang paling tahu dan mengerti tentang kemana langkah serta posisi kita adalah diri kita sendiri. Semakin kita bisa atau banyak membandingkan dikotomi tersebut di atas semakin “sempurna” kita melangkah. Oleh karena itu untuk menyikapi segala kemungkinan yang terjadi pada dunia yang global ini, sebaiknya seorang koreografer belajar terhadap berbagai perbedaan yang ada dalam rangka menemukan jati dirinya. Bagaimanapun hal ini sangat erat kaitannya dengan motivasi serta filosofi yang tumbuh atau dibagun pada seorang koreografer dalam rangka melakukan proses kreatifnya.
Ketika filosofi kekaryaan itu muncul sebagai usaha untuk memperkokoh eksistensi identitasnya, maka ada pikiran Lu Xun yang dikutip oleh Tiang Feng (1998:52) sangat menarik, yakni: “Semakin besar hal-hal karakteristik nasional yang dimiliki semakin mudah menjadi internasional” hal ini memberi makna bahwa semakin nampak indentitas kita semakin mudah untuk menggelobal.
E.     Penutup
Akhirnya apapun yang dilakukan oleh seorang koreografer dalam menciptakan karyanya adalah sebuah realita perkembangan dunia tari dalam rangka menuju pada era global. Untuk mengarah pada kesadaran filosofis dalam berkarya, setidaknya seorang koreografer memiliki kejujuran, terbuka, kritis, kreatif, serta berwawasan luas. Pada tahap awal dalam proses kreatif dibenarkan bila sebagai pemula koreografer tirumeniru baik dalam hal konsep ataupun bentuk yang telah ada, selanjutnya kesadaran membangun estetika dan kreativitas sangat diperlukan dalam perkembangannya. Dalam rangka membangun eksistensi identitas pada dunia global sebaiknya berorientasi pada usaha memperkokoh karakteristik local.

DAFTAR PUSTAKA
Chua Soo Pong. 1998 Permasalahan Multikulturalisme Tantangan Kultur di Era Baru Kota-kota Multikultur. Dalam Keragaman dan Silang Budaya Dialog Art Summit. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung:  MSPI.
M. Jazuli. 2000. “Seni Pertunjukan Global: Sebuah Pertarungan Ideologi Seniman”. Dalam Global Lokal. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung: MSPI.
Peni Puspito. 2005. Membangun Ekspresi Lewat Koreografi. Makalah disajikan pada acara Pelatihan Korografer di Kabupaten Sumenep Agustus 2005.
Sal Murgiyanto. 1998
Tian Feng. 1998. “Pencarian makna perubahan: Kajian Awal Tentang Modernitas, Tradisi, dan Kebangkitan Budaya Pluralistik” Dalam Keragaman dan Silang Budaya Dialog Art Summit. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung:  MSPI.
Yasraf Amir Piliang. 2000. “Global/Lokal: Memepertimbangkan Masa depan” Dalam Global/Lokal. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung: MSPI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.