Sabtu, 26 Mei 2012

TEMU KOREOGRAFER MUDA 2012




Pada hari Kamis yang baru lalu tepatnya tanggal 24 Mei 2012 Dewan Kesenian Surabaya (DKS) menggelar acara yang diberi nama Temu Koreografer Muda. Acara ini digelar di Galeri Balai Pemuda, jl. Gubernur Surya 15 Surabaya. Tujuannya, selain  membuka ruang bagi koreografer untuk menyalurkan ekspresi melalui karya-karyanya juga membangun forum komunikasi antar seniman dan penghayatnya. DKS pada saat itu mengundang tiga penata tari muda yakni Yulian aprianti dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Anis dari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya (STKW), dan Paramudita Arbella dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Setelah dibuka oleh Sabrot M (ketua DKS), pertunjukan diawali dengan penyajian karya Yulian Aprianti yang berjudul Garis Merah. Karya yang merupakan tarian tunggal ini diinspirasi dari kondisi kehidupan free sex atau seks bebas yang merajalela di negara kita. Dengan properti sebuah balon yang dimainkan dengan cara meniup pada adegan-adegan terakhir ingin menghimbau kepada penonton supaya tidak terjerumus dalam budaya seks bebas. Walaupun disajikan dengan tanpa menggunakan alunan musik, karya ini sangat menarik untuk dinikmati. Melalui kemampuannya membuat struktur dan penggunaan teknik gerak yang cukup bagus, tarian ini mampu memancing penonton untuk membangun atau mengembangkan interpertasinya. Kelenturan tubuh serta pengalaman teba gerak penari yang dilakukan sendiri oleh penatanya cukup memberikan apreisasi, namun dari sisi penyimbolan motivasi atau isi perlu terus dieksplor, sehingga simbol yang dihadirkan dapat tergeneralisasi dan mampu ditangkap oleh siapapun.
Penyaji kedua adalah Anis yang mengusung karya berjudul Garwa. Sebuah tarian yang disajikan oleh lima orang penari ini ingin berbicara tentang hubungan antara seniman dengan proses kreatif itu tidak dapat dipisahkan seolah merupakan separuh dari nyawanya. Garwa dapat diartikan sebagai sigarane nyawa (separuh dari nyawa) dan bisa pula bermakna sebagai istri atau suami yang kehadirannya sangat penting dalam kehidupan seseorang. Tarian yang diawali dengan masuknya seorang penari di arena pentas dengan mengusung trap ini, hingga berakhirnya pertunjukan juga tidak menghadirkan musik sebagai pengiringnya. Tarian ini lebih memiliki keinginan untuk berbicara secara ferbal kepada penontonnya. Suara yang hadir dalam pertunjukan ini hanya datang dari seorang penari yang seolah berperan sebagai seorang koreografer sedang memberikan instruksi kepada para penarinya. Karena keinginannya untuk menggabarkan proses kreatif, maka gerak yang dihadirkan banyak sekali pengulangan-pengulangan baik adegan ataupun gerak. Gagasan-gagasan menarik dari sang koreografer adalah keinginannya untuk membangun konsep estetika yang dekonstruktif, namun karena bekal yang masih belum cukup untuk memahami konsep ini maka hal ini belum bisa dirasakan oleh penonton.
Akhir dari penyajian acara Temu Koreografer Muda ini ditutup oleh Paramudita Arbella dengan karyanya berjudul Sekartaji. Dalam karya ini, koreografer ingin mencoba mengeksplor nilai-nilai sastra panji yang berkait dengan bagaimana situasi batin seorang Sekartaji yang ditinggalkan oleh suaminya Panji. Tarian ini di tarikan oleh dua orang penari, dan diawali dengan seorang penari wanita on stage dengan memanfaatkan kain side wing sebagai porperti yang ditarik hingga di tengah panggung. Dengan gerak-gerak yang dominan mengeksplor tubuh bagian tangan mencoba mengungkap kegelisahan seorang Sekartaji yang mendapatkan berbagai gunjingan dan permasalahannya. Pada bagian tengah muncul seorang penari dari back stage dengan memainkan backdroup. Munculnya seorang penari putra dari back stage ini mampu mengajak penonton untuk mengembangkan imajinasinya pada pertunjukan reog. Seolah penari tersebut sedang memainkan dadak merak dalam pertunjukan reog. Interpretasi penonton kemudian mengkaitkan antara pertunjukan yang didesain tidak memanfaatkan idiom tradisi kemudian masuk pada wilayah persoalan tradisi. Tampaknya  garis-garis kain baik pada back droup maupun side wing sebagai properti sangat efektif dalam membangun garis-garis yang imaginatif dalam menciptakan ruang.
Apapun evaluasi terhadap karya-karya tersebut, fenomena yang dapat dipetik adalah munculnya komunitas (koreografer muda) Perguruan Tinggi di ruang publik. Tentunya hal ini penting selain untuk menyemarakan kehidupan tari, juga sebagai ruang belajar mahasiswa di luar kampus. Mahasiswa yang biasanya dihadapakan pada hal-hal yang konstruktif normatif maka sekarang mereka harus menemukan jati dirinya dalam berkesenian yang mungkin tidak selamanya konsep-konsep kontruktif normatif menjadi pilihan mereka dalam konsep berkeseniannya. Selamat dan Sukses untuk para koreografer............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.