Sabtu, 11 Juni 2011

Sandur Tuban disentuh Dosen STKW

Pada hari sabtu, 11 Juni 2011 di desa Punggahan Kulon Kecamatan Semanding Kab Tuban diadakan ujian akhir penjajian mahasiswa S-2 ISI Surakarta yang akrab dipanggil Joko. Beliau adalah salah seorang staf pengajar di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwaikta Surabaya, dengan latar belakang keahlian Seni karawitan. Latar belakang pendidikan di jenjang SMA-nya penah selesaikan di bangku SMKI yang sekarang disebut SMKN 9, dan melanjutkan S-1 di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, kemudian melanjutkan S-2 di ISI Surakarta
Kegiatan berkeseniannya sudah dilakukan dengan malang melintang mulai dari ikut mebantu dalam karya-karya baru yang diciptakan oleh senior maupun teman sebayanya, juga sering pula melahirkan karya karya seninya yang cukup memberikan apresiasi kepada komunitasnya.
Kesenian Tuban yang sering disebut Sandur, kali ini digarap lagi oleh Joko dengan diberi judul Kalongking. Sebutan Kalongking ini diambil dari sebutan adegan akhir kesenian Sandur secara keseluruhan. Dilihat dari judul karyanya, maka tampaknya joko lebih tertarik menggarap pertunjukan Sandur dari sisi bagian akhir pertunjuannya.Tidak ubahnya kesenian Sandur karya ini disajikan pada lapang terbuka. Untuk memberi pembantas antara pemain dan penonton, arena pertunjukan diberi pembatas berupa tali atau lawe. Di tengah arena pertunjukan tertancap rontek yang terbuat dari kertas serta dua tiang bambu yang tertancap diantara rontek tersebut, diberi tambang sebagai pengikat keduanya serta di tengah antara keduanya ditarikan tambang yang menjulur ke bawah
Dari awal pertunjukan dalam karyanya, joko mempersebahkan arak-arakan para pemain masuk ke arena pentas dengan diiring oleh dua orang pemegang obor di baris yang paling depan. Setelah mengitari arena pentas yang berbentuk segi emapat, dibatasi oleh lawe (tali) dan digantung beberapa janur, para pemain menggambil posisi masing-masing. Panjak Hore sebagai pemusik menempatkan diri di tengah-tengah arena, dan para penari duduk berjajar di sebelah meja yang diatur sedemikian rupa sebagai tempat meletakan sesaji yang ada.
Setelah bagian awal ini dilakukan kemudian dilanjutkan dengan alunan suara musik dari vokal para panjak hore, dan seorang tetua membacakan do'a keselamatan serta kesejahteraan untuk kita semua. Adegan per adegan di sajikan secara runtut seperti pada urutan sandur yang asli, sampai pada puncaknya adalah salah satu penari memanjat ke atas tali dan menari-nari sepeti burung Kalong (mirip kelelawar namun besar). Keseluruhan penyajian karya ini membutuhkan waktu setengah jam atau enam puluh menit. Dibanding dengan pertunjukan Sandur yang asli jauh lebih singkat, karena pada Sandur yang asli dibutuhkan kurang lebih tujuh jam (mulai pukul 21.00 sampai 04.00).
Walau pertunjukan ini memakan waktu hanya enam puluh menit, pengunjung yang hadir dan ingin menyaksikan bisa dibilang bayak sekali. Tidak kurang dari 500 orang datang berjubel dari berbagi penjuru (dari desa sekitar, luar kecamatan, atau bahkan luar kota) ingin menyaksikan pertunjukan ini.
Bila dibanding dengan pertunjukan yang asli, maka roh pertunjukan dalam karya ini, relatif belum menunjukan keberhasilan. Hal ini disebabkan karena para penari bukan merupakan komunitas asli, namun komunitas pendatang yang nota bene belum memiliki pengalaman (ekternal atau internal) kesenian Sandur. Ketika mereka mengekspresikan tarian masih tampak teknis sekali sedangkan spiritnya belum muncul, walau sebetulnya kepuan asap yang timbul akibat obor-obor di sekitarnya telah mampu memciptakan suasana yang sangat religius
Hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan Sandur berikutnya adalah mencari pemain yang mampu mengekresikan budaya masyarkat sandur, sehingga roh kesenian akan menyatu dengan ekspresi para pendukungnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.